Khazanah Kiai Nusantara

Media Pengabadian Pengabdian-pengabdian Tanpa Pamrih

Monday, January 24, 2011

K.H. Abdurrahman Chudlori

BERPOLITIK UNTUK KEMASLAHATAN UMAT


(Prolog Penulis : "Hari ini (24/01/11) tersiar berita K.H. Abdurrahman Chudlori, Pengasuh Pesantren Tegalrejo Magelang, Jawa Tengah wafat. Kenanganku langsung melayang ke pertengahan Januari 2007, ketika aku mewawancarai beliau untuk majalah Alkisah edisi 03/2007. Berikut catatanku waktu itu.. Semoga memberi inspirasi.")


Berangkat dari dhawuh sang ayah, kiai yang satu ini pun berkiprah di politik. Bukan untuk mencari uang atau popularitas, tetapi untuk membantu mewujudkan kemaslahatan umat.


Cempaka Putih, pertengahan Desember 2006. Seorang pria paruh baya yang mengenakan baju batik coklat, kain sarung hijau dan kopiah hitam berdiri dan mengucapkan salam. Suara baritonnya meski terkesan datar namun membuat tiga ratusan kiai dan ustadz serta ustadzah yang menghadiri silaturahmi ulama dan habaib DKI Jakarta di aula Pondok Pesantren Hubbul Wathon, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, tersihir.


Setelah sambutan berjalan separuh jalan, semakin jelas bahwa kedalaman ilmu agama dan wawasan sang pembicara tak sesederhana wajah dan penampilannya. Mutiara hikmah yang dikutip secara luar kepala dari berbagai kitab-kitab termasyhur mengalir dengan lancar. Dari sikap ta’zhim dan cara memandang para audiens, tampak pula betapa sang pembicara sangat dihormati. Tentu saja, karena sang pembicara tidak lain adalah K.H. Abdurrahman Chudlori, pengasuh Pondok Pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah.


Kiai Abdurrahman Chudlori, yang akrab disapa Mbah Dur, merupakan salah satu ulama yang disepuhkan di kalangan Nahdliyyin. Bukan saja karena nama besar pesantren dan kiprah keulamaannya, namun juga karena kiprah politiknya yang konsisten memperjuangkan aspirasi warga nahdliyyin sejak Pemilu 1997. Ia juga termasuk salah satu kiai yang tergabung dalam Forum Langitan, suatu kelompok ulama sepuh NU yang muncul menjelang gonjang-ganjing gelombang reformasi 1998.


Dalam setiap perubahan situasi politik, Mbah Dur termasuk salah seorang kiai yang selalu ditunggu fatwa-fatwa politiknya oleh warga Nahdliyyin. Tak heran, belakangan ia lebih dikenal sebagai kiai politisi NU, meski yang bersangkutan menolak.


Ditemui Penulis di ruang kerjanya di Jl. Kramat V Jakarta Pusat, Mbah Dur bercerita tentang pengalamannya berkecimpung di dunia politik dan pandangan-pandangannya seputar kiai yang berpolitik.


Dengan dialek jawa yang kental dan ketawadhuan khas pesantren, Mbah Dur menolak anggapan bahwa seorang kiai tidak boleh berpolitik. “Para kiai memang tidak bisa lepas dari politik,” kata putra K.H. Chudlori, ulama kharismatik Magelang, itu membuka percakapan. Mbah Dur lalu mengutip salah satu maqalah dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, “As-Siyasah juz-un min ajza-isy syari’ah wa far’un min furu’iha, politik adalah bagian dan cabang syariat.”


“Apalagi bagi ulama Nahdliyyin yang sejak awal memang sudah berpolitik, baik saat tergabung dengan masyumi, saat berdiri sendiri sebagai partai, maupun saat berfusi dalam PPP pada masa orde baru,” tambahnya.


Air Dan Udara

Manusia sendiri, lanjut Mbah Dur, pada dasarnya tidak bisa lepas dari politik, “Ihtiyajul umam ilas siyasah kahtiyajihim ilal ma-i wal hawa,” kebutuhan umat Islam terhadap pengaturan, dalam hal ini politik atau pemerintahan, seperti kebutuhan mereka terhadap air dan udara. Maka sudah sewajarnya semua umat manusia, terlebih ulama, sebagai khalifah Allah di muka bumi merasa perlu ikut bertanggungjawab terhadap tuhannya atas pengaturan pemerintahan yang nota bene terkait dengan keteraturan hidup.


Lebih lanjut kiai yang diusianya yang ke-64 masih tampak energicmengungkapkan, ada tiga tanggung jawab yang diemban ulama NU. Pertama,mas’uliyyatud diniyyah, tanggung jawab keagamaan. Kedua, mas’uliyyatul ijtima’iyyah, tanggung jawab kemasyarakatan, dan ketiga, mas’uliyyatulwathaniyyah, tanggung jawab kebangsaan. Kiprah politik ulama tidak lain dalam rangka memenuhi tanggung jawab kebangsaan.


K.H. Abdurrahman Chudlori, adalah putra sulung K.H. Chudlori, ulama besar yang disegani pada era 1940 - 1977. Abdurahman lahir pada pertengahan tahun 1942 di komplek pesantren Asrama Perguruan Islam (API), Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, yang didirikan sang ayahanda.


Menyebut nama Tegalrejo, dalam benak kita pasti terlintas sebuah nama, Diponegoro. Di desa kecil yang sejuk inilah sang pejuang menjalani masa kecil dan remajanya dalam asuhan sang nenek yang taat beribadah. Di desa kecil itu pula Diponegoro dewasa menyusun rencana perjuangan mengusir penjajah untuk pertama kalinya. Maka bukan suatu kebetulan jika kakek buyut Kiai Abdurrahman Chudlori juga dikenal sebagai salah satu pejuang lasykar Diponegoro, yangmandeg pandhito, setelah sang pemimpin ditangkap penjajah Belanda.


Usai belajar di kampungnya, Dur lalu diperintahkan sang ayah untuk nyantri di pesantren Ploso, Mojo, Kediri, Jawa Timur. Selama enam tahun ia berguru kepada K.H. Djazuli Utsman, ahli fiqih Jawa Timur paruh pertama abad 20, dan juga kepada putra-putra Kiai Jazuli seperti Zainuddin (Gus Din), Nurul Huda (Gus Dah) dan Hamim Jazuli (Gus Miek), yang saat itu sudah ikut mengajar.


Dari para gurunya di Ploso itulah, terutama Gus Miek yang terkenal khariqul ‘adah,antik, itu Mbah Dur merasa banyak mendapatkan ilmu. Hingga kini hubungan murid dan guru itu masih sangat terjaga. Bagi bapak enam orang anak itu, sampai kapan pun para pengasuh pesantren Ploso adalah guru dan teladan yang sangat dihormati.


Sementara dari sang ayah, teladan yang paling ingin ditiru Mbah Dur adalah sikap Mbah Kiai Chudlori yang selalu idkhalus surur (membahagiakan) terhadap orang lain dengan selalu berbuat baik tanpa membeda-bedakan, tidak menyinggung perasaan, dan membicarakan hal-hal yang ringan dan mudah dipahami. Sikap inilah yang membuat setiap santri dan tamu yang berinteraksi dengan Mbah Chudlori selalu merasa dekat dan disayang.


Berkisah tentang awal pergumulannya dengan dunia politik, Mbah Dur mengaku semua bermula dari dhawuh sang ayah yang menyuruhnya ikut meramaikan kampanye PP menjelang Pemilu 1977. “Waktu itu, ayah saya yang sudah sangat sepuh memahami politik dengan sangat lugu dan sederhana,” Kiai Abdurrahman mengisahkan. “Karena PPP adalah partai Islam dan NU juga tergabung di dalamnya, maka menurut ayah saya, membela PPP hukumnya wajib.”


Saking semangatnya, sang ayah yang sedang tergolek sakit itu berkata, “Kowe melua berjuang menangke partaine wong Islam, kamu harus ikut berjuang memenangkan partainya umat Islam.” Belakangan Mbah Dur baru tahu, ternyata motivasi sang ayah menyuruhnya ikut kampanye tidak lain untuk menggugurkan kewajiban. “Aku wae yen ora loro mesti melu, kok, Aku saja kalau tidak sedang sakit pasti ikut kampanye.”


Ikut-ikutan

Bagi Mbah Dur, pesan sang ayah untuk terjun ke dunia politik seakan menjadi wasiat terakhirnya. Karena, tepat satu minggu setelah penyelenggaraan pemilu 1977, ulama sepuh yang sangat di hormati di antero Jawa Tengah dan Jawa Timur itu wafat.


Sejak tahun 1977 itulah kiprah politik Mbah Dur, yang diistilahkannya dengan perjuangan dimulai. “Bukan sesuatu yang besar, wong waktu itu saya cuma ikut-ikutan ngajak orang noblos PPP.”


Perjuangan memang menjadi kata kunci garis hidup K.H. Abdurrahman Chudlori. Terlebih perjuangan mewujudkan kemaslahatan umat, sebagai bagian dari tanggung jawab keulamaannya. “Bagi saya perjuangan mewujudkan kemaslahatan umat itu tidak mengenal kata selesai kecuali ajal menjemput nyawa. Dan perjuangan itu bisa dengan apa saja : yang punya ilmu dengan mengamalkan serta mengajarkan ilmunya. Demikian juga bagi yang punya kekuatan, harta dan sebagainya. Berjuang dengan ilmu juga bisa dilakukan dengan selalu berusaha memperbaiki keadaan, terutama keadaan umat Islam dan memberi pengertian baik kepada orang lain,” lanjut Kiai Abdurrahman.


Meski aktif berpolitik, Mbah Dur, yang sejak 1977 menggantikan sang ayah mengasuh Pesantren Tegalrejo selalu menegaskan, seluruh aktivitas politiknya adalah sikap pribadi, bukan kebijakan kelembagaan pesantren Tegalrejo. “Pesantren Tegalrejo sudah dipathok orang tua saya untuk tidak digunakan sebagai tempat aktifitas politik,” Mbah menegaskan.


Ketika ditanyakan, apakah aktivitas politik tidak akan mengganggu tugasnya sebagai pengasuh pesantren? Mbah Dur yakin tidak. Karena, menurutnya, peran para kiai yang tergabung dalam Dewan Syura dan Dewan Mustasyar hanya pengambil kebijakan, bukan sebagai pelaksana. Mbah Dur juga yakin umat Islam sekarang sudah dewasa untuk bisa memilah dan memahami, kapan seorang kiai berfungsi sebagai guru dan ulama yang patut disowani dan dimintai fatwa, dan kapan waktunya ia menempati posisi sebagai warga negara yang mempunyai hak untuk menyalurkan aspirasi politik.


Ketika penulis menanyakan, dari mana kiai pesantren tradisional ini belajar politik? Dengan rendah hati Mbah Dur mengaku, ia belajar sedikit demi sedikit melalui interaksi dengan para politisi yang ditemuinya. Ia juga tidak menyangkal telah memperkaya pengalamannya dengan membaca kitab-kitab fiqih siyasah, fiqih politik, yang cukup banyak bertebaran dalam jagad khazanah pesantren.


Mbah Dur menolak anggapan bahwa kitab-kitab fiqih siyasah pesantren telah ketinggalan zaman. Baginya semua kitab ilmu cocok dipakai di segala zaman dan mengajarkan banyak hal. Misalnya, dari kitab kuninglah Mbah Dur tahu bahwa yang namanya politik itu pasti berkait dengan kepentingan. “Namun yang membedakan dengan para politisi lain, para kiai sepuh NU berpolitik untuk kepentingan akhirat. Bukan untuk mencari uang atau kedudukan dunia,” tegas Mbah Dur berbinar.


Komitmen yang sejak awal dipegang Mbah Dur itu dibuktikan dengan menolak pencalonannya menjadi anggota MPR, meski Magelang merupakan lumbung suara yang cukup menjanjikan. Ini terbukti kandidat lain, K.H. Dimyathi Rois dari Kaliwungu, yang menggantikannya dengan mulus melenggang ke Senayan. Demikian pula pada era PKB, dari DPC Magelang ia mendapat jatah kursi calon anggota DPR RI mewakili Jawa Tengah. Lagi-lagi kesempatan itu diberikan kepada koleganya, K.H. Kholil Bisri, yang juga akhirnya terpilih.


“Insya Allah, tidak ada satupun kiai-kiai sepuh NU yang berpolitik dengan tujuan menjadi anggota dewan,” Mbah Dur sekali lagi berkomitmen. “Kalau pun ada yang kemudian bersedia menjadi anggota dewan yang dilihat bukan uangnya, tetapi adanya kesempatan ikut membuat kebijakan atau undang-undang yang membawa kemaslahatan.”


Terkait penolakan itu Mbah Dur berkelakar, “Saya itu tidak pengin jadi anggota DPR. Saya pengine nggawe anggota DPR.”


Kecewa Berat

Sebagaimana beberapa kiai lain, aktivitas politik Mbah Abdurrahman Chudlori sempat terhenti ketika NU memutuskan untuk khiththah, kembali ke garis perjuangan awal sebagai ormas keagamaan yang hanya mengurus masalah sosial keagamaan. “Waktu itu NU kecewa berat karena di PPP kepentingan politik warganya tidak tersalur dengan layak,” Mbah Dur mengisahkan ihwal kembalinya ia ke kancah politik.


Namun setelah tidak berpolitik pun ulama NU tidak bisa tenang karena jamaahnya ditarik-tarik kesana kemari, seperti orang yang diminta mendorong mobil. Setelah mobilnya jalan orangnya ditinggal. Karena itulah, begitu keran reformasi dibuka ulama NU mufakat untuk membentuk wadah aspirasi politik warga NU yang dikenal dengan nama Partai Kebangkitan Bangsa.


Namun sayang, seiring berjalannya waktu, partai politik warga NU mulai ngalor ngidul nggak jelas. Upaya para kiai pendiri PKB untuk membenahi agar kembali berjalan di atas niatan awal tenyata kandas. “Ya sudah kita bikin wadah baru saja dari pada ribut-ribut terus,” kata Mbah Dur enteng.


Setelah perencanaan pembentukan partai baru matang, beberapa kiai sepuh seperti K.H. Idham Khalid dan K.H. Abdullah Faqih melakukan istikharah. Hasilnya positif. Kiai Abdullah Faqih, misalnya, selama tujuh malam mendapat isyarat mimpi yang baik-baik, seperti membaca surah Al-Fatihah, melihat awan putih bertuliskaninna shalati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil ‘alamin dan lain sebagainya.


Tak ingin kehilangan kendali untuk kedua kalinya, para ulama sepuh menyempurnakan AD/ART partai barunya. Kali ini Dewan Mustasyar yang berisi para ulama sepuh lebih diaktifkan dan mempunyai hak veto. Hak veto ini diharapkan bisa mengendalikan sepak terjang para pelaksana harian yang tergabung dalam dewan tanfidz dan dewan syura.


Bagaimana dengan kiai-kiai NU yang masih berserakan di partai-partai lain? Dengan enteng Mbah menjawab, “Ya biar saja. NU khan sudah khiththah, jadi tidak ada kewajiban semua kiai NU berada di satu tempat. Tugas kami cuma ayo-ayo: ayo ini partainya para kiai.. ayo dukunglah. Sudah. ”


Bagi ayah dua putra empat putri ini, yang paling penting dalam perjuangan adalah menata niat dengan benar dan berangkat. “Ya pokoknya berangkat, mengenai hasilnya terserah Allah. Menang Alhamdulillah, kalah yo mati syahid, hehehe.”


Entah karena sikapnya yang cenderung selalu tenang, atau karena pengalaman politiknya, akhirnya Mbah Dur terpilih menjadi Ketua Dewan Syura partai barunya, PKNU.


“Saya ini tidak mau, tetapi para kiai sepuh terus mendesak saya,” kata Mbah Dur sambil menghela nafas. “Saya itu sebenarnya tidak mampu memegang tampuk kepemimpinan organisasi, apalagi tingkat nasional. Saya ini khan cuma kiai kecil dari kampung. Tapi ya sudah, bolak- balik semua itu saya niati ndere’ke dhawuhpara kiai, ittiba’ ulama. Di forum langitan itu khan ada kiai-kiai sepuh yang sangat saya hormati, seperti Kiai Abdullah Faqih, kiai-kiai pesantren Ploso dan juga Kiai Idris Marzuki, Lirboyo, yang walaupun umurnya sebaya, tapi sangat saya ta’zhimi, karena beliau keturunan orang gedhe.”


Tidak Tega

Waktu muktamar Surabaya, sebenarnya ia sudah menyatakan ingin istirahat. Namun para kiai-kiai sepuh bilang, “Sampeyan bertahan dulu, maksimal sampai hasil kasasi keluar.” Ia pun menegaskan,“Estu, betul, kiai?”

“Iyo, tenan,” kata para kiai.


Namun ketika hasil kasasi MA keluar dan gugatan pihaknya kalah, ia nggak tega meninggalkan perjuangan teman-temannya yang ingin ikut merubah tatanan kenegaraan melalui parlemen dan pemerintahan, agar kemaslahatan umat dijadikan sebagai tujuan bersama. “Yah pokoknya kita berangkat menuju medan perjuangan dengan niatan lillahi ta’ala. Dalam perjuangan itu khan yang penting berangkat, seperti halnya berperang, yang penting ya berangkat dulu dengan niat yang benar. Soal hasilnya kita serahkan kepada gusti Allah. Kalo mati ya mati syahid, kalau menang yang itu memang yang diharapkan,” kata Mbah Dur pelan.


Ketika ditanya bagaimana konsep kenegaraan yang akan diperjuangkan para kiai sehingga merasa perlu ngotot mendirikan partai, kiai yang mengaku resep awet mudanya adalah makan dan tidur secara teratur ini mengatakan, “Berpedoman pada pendapat para hukama’, ahli hukum dan hikmah, suatu negara akan tegak jika mempunyai enam pondasi: yaitu dinun muttaba’, agama yang dilaksanakan secara konsekwen; sulthanun qahirun, pemerintahan yang berwibawa; ‘adlun syamil, keadilan yang menyeluruh; amnun ‘am, keamanan yang merata; amalun fasih, aspirasi yang sehat.”


Atau kalau diruntut lebih ke belakang lagi, lanjut Mbah Dur, Rasulullah juga telah mengajarkan, untuk menegakkan suatu negara diperlukan empat hal: pengajaran para ulama, keadilan para Umara, baik legislatif, eksekutif dan yudikatif, kedermawanan orang-orang kaya dan doanya kaum fakir miskin. (Kang Iftah, Februari 2007)

Sunday, July 11, 2010

K.H. Idham Chalid


MENGALAH DEMI KEUTUHAN NU

Kemarin siang (11/7), seluruh media memberitakan berpulangnya Kiai-Politisi NU besar ini. Tak banyak yang diingat generasi muda nahdliyyin, apalagi ABG NU, tentang sosok sang kiai. Padahal jasanya sangat luar biasa bagi NU. Ia membawa ormas berjuta umat itu melewati masa transisi berdarah dari Orde Lama ke Orde Baru dengan selamat. Namun akhirnya ia disingkirkan dan terlupakan. Sekedar menyegarkan ingatan kita, berikut ini saya sajikan kembali profil singkat beliau yang pernah saya tulis untuk Majalah Alkisah, awal 2008 lalu. Mohon maaf jika cukup panjang.

Pernah mendengar kisah Khalifah Umar bin Khaththab menyurati Sungai Nil di Mesir? Cerita yang sedikit memiliki kemiripan juga pernah terjadi di Indonesia pada paruh kedua abad ke-20. Tepatnya di Provinsi Kalimantan Selatan.
Diceritakan, suatu ketika keluarga Kesultanan Banjar dan pemerintah daerah setempat bermaksud memindahkan sebuah makam di tengah rimba yang diyakini sebagai makam Pangeran Antasari, pejuang kemerdekaan dari Banjar, ke pemakaman keluarga keraton. Namun sayangnya upaya itu gagal, karena selalu diganggu binatang buas dan makhluk ghaib penunggu hutan.

Setelah melalui proses istikharah, keluarga keraton mendapat isyarah, petunjuk, bahwa hanya satu orang yang bisa menembus penjagaan ajaib maklhuk rimba itu. Ia adalah seorang ulama sepuh asal Amuntai, Kalimantan Selatan, yang saat itu tengah bertugas di Jakarta.

Panitia pemindahan makam Pangeran Antasari pun menghubungi sang kiai. Uniknya, bukannya ikut berangkat bersama rombongan panitia, kiai kelahiran Kalimantan Selatan itu malah menulis sepucuk surat yang ditujukan kepada para “penunggu” hutan. Isinya, perintah agar semua pengganggu menyingkir dari area makam Pangeran Antasari.

Hebatnya, setelah surat itu dibacakan di tepi hutan, tak ada satu pun binatang buas dan makhluk halus yang menampakkan diri. Proses pemindahan makam sang pejuang pun berjalan lancar, tanpa hambatan.

Peristiwa ajaib itu, yang konon diceritakan sendiri oleh sang kiai dalam sebuah kesempatan, terlepas dari benar atau tidaknya, sangat lekat di benak murid-muridnya. Namun agaknya sulit meminta konfirmasi kebenaran cerita luar biasa tersebut, sebab sejak beberapa tahun lalu sang kiai terbaring lemah di kamarnya, berjuang melawan penyakit stroke yang menggerogoti usia rentanya.

Meski tergolek tanpa daya, bukan berarti nama sang kiai ikut padam. Sebab, siapa pun yang hendak menyusuri sejarah perjalanan Nahdlatul Ulama sejak era 1950 hingga 1980-an, pasti akan menyebut namanya. Sang kiai dikenal sebagai salah satu ulama politisi NU yang paling lihai berkelit dari arus perubahan di negeri ini. Dengan liat, namanya bertahan di kancah perpolitikan tanah air, meski banyak rekannya yang telah tersingkir dilibas lawan-lawan politik mereka.

Baru ketika dihadapkan pada ancaman perpecahan dalam tubuh NU, organisasi yang sangat dicintainya, ia menyerah. Demi keutuhan ormas bentukan para kiai di awal abad ke-20 itu, ia rela menyingkir dari panggung sosial-politik yang telah membesarkan namanya dan pernah mendudukkannya di kursi wakil perdana menteri Republik Indonesia, bahkan di jabatan tertinggi negeri ini, ketua DPR/MPR RI.

Dialah K.H. Idham Chalid, pemimpin Perguruan Darul Ma’arif Cipete, Jakarta Selatan, yang juga mantan ketua umum PBNU dan mantan rais 'am Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Muktabarah An-Nahdliyyah (Jatman).

Menyebut nama Kiai Idham Chalid, ingatan kita pasti akan segera melayang pada gonjang-ganjing NU pada tahun 1982-1984, yang melahirkan sekaligus menghadap-hadapkan dua kubu tokoh-tokoh nahdliyyin: kubu Cipete dan kubu Situbondo. Konflik internal NU itu juga yang kemudian membuat Idham dianggap “kontroversial” dalam sejarah perpolitikan Nahdlatul Ulama: ia dicitranegatifkan sebagai politisi yang tidak memiliki pendirian, egois, dan menguntungkan pihak penguasa. Bahkan karena sikapnya yang sering dianggap mengambang, salah satu organisasi kepemudaan NU menjulukinya “politikus gabus”.

Tak banyak yang mau melihat sisi lain kebijakan-kebijakan Kiai Idham tersebut yang sebenarnya sangat NU dan sangat Sunni. Sebagai politisi besar NU yang lihai, Idham memang memainkan dua lakon berbeda, sebagai politisi dan ulama. Sebagai politisi, ia melakukan gerakan strategis, kompromistis, dan terkesan pragmatis. Sebagai ulama, ia bersikap fleksibel dengan tetap tidak terlepas dari jalur Islam dan tradisi yang diembannya.

Semua itu ia lakukan sebagai bagian dari upaya kerasnya menjaga stabilitas grass root atau kalangan bawah nahdliyyin, yang menjadi tanggung jawabnya, agar selamat fisik dan spiritual melewati masa-masa gawat transisi dari Orde Lama ke Orde Baru, yang berdarah-darah. Kiai Idham tidak peduli dengan berbagai stereotip yang ia sadari bakal menimpanya, asal menghasilkan kemaslahatan banyak orang.

Strategi politik tersebut dilandaskan pada tiga prinsip. Pertama, lebih menekankan sikap hati-hati, luwes, dan memilih jalan tengah ketimbang sikap memusuhi dan konfrontasi, yang justru membahayakan kepentingan umat. Kedua, politik yang memperhitungkan kekuatan umatnya di hadapan kekuatan rezim atau kekuatan lain di tengah masyarakat. Ketiga, menggunakan pendekatan partisipatoris terhadap pemerintah sehingga mampu memengaruhi kebijakan penguasa demi kemaslahatan umat.

Menurut Idham, NU harus ikut andil dalam kekuasaan sebagai kekuatan penyeimbang. Cara ini dianggap lebih tepat dalam menghasilkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang pro umat, daripada berada di luar kekuasaan, yang justru membuat sulit bergerak.

Efek kebijaksanaannya sangat luar biasa. Ia menjadi sangat berakar di kalangan bawah kaum nahdliyyin, terutama di luar Jawa, dan mampu bertahan di kancah perpolitikan tanah air lebih dari tiga dekade. Namun sayang, belakangan kharismanya dianggap sebagai ancaman oleh penguasa. Dengan memanfaatkan isu kembali ke khiththah 1926 yang tengah digaungkan kalangan muda NU, di muktamar Situbondo 1984, pihak lawan membuat Idham terjungkal dari kursinya.

Cerdas dan Pemberani
Idham Chalid, yang lahir pada tanggal 27 Agustus 1922 di Setui, dekat Kecamatan Kotabaru, bagian tenggara Kalimantan Selatan, adalah anak sulung dari lima bersaudara. Ayahnya H. Muhammad Chalid, penghulu asal Amuntai, Hulu Sungai Tengah, sekitar 200 km dari Banjarmasin. Saat usia Idham enam tahun, keluarganya hijrah ke Amuntai dan tinggal di daerah Tangga Ulin, kampung halaman leluhur ayahnya.

Idham kecil dikenal sangat cerdas dan pemberani. Saat masuk SR, misalnya, ia langsung duduk di kelas dua. Dan sejak duduk di bangku SR itulah bakat pidatonya mulai terlihat dan terasah. Pada tanggal 13 Agustus 1934, Idham, yang duduk di bangku kelas enam, mendapat kesempatan berpidato di hadapan teman-teman dan gurunya.

Dengan memukau ia menyampaikan materi pidato yang dibuatkan gurunya di luar kepala. Sejak itu ia semakin sering diminta berpidato di depan khalayak ramai dan berproses menjadi seorang orator ulung. Haji Napiah, sahabatnya semasa sekolah, menceritakan, karena tubuhnya tak lebih tinggi daripada podium, saat berpidato sering kali Idham menggunakan bangku untuk alas berdiri, agar wajahnya bisa terlihat oleh penonton.

Keahlian berorasi itu pula yang kelak menjadi modal utama Idham Chalid dalam meniti karier di jagat politik. Bahkan, beberapa dasawarsa kemudian, muballigh sekelas K.H. Zainudin M.Z. dan K.H. Syukran Ma’mun pun datang untuk berguru ilmu pidato kepadanya.

Selepas SR, Idham melanjutkan pendidikannya ke Madrasah Ar-Rasyidiyyah, yang didirikan oleh Tuan Guru Abdurrasyid, alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, pada tahun 1922. Sekolah yang awalnya bernama Arabisch School itu bermula dari pengajian kitab yang diasuh sang Tuan Guru di rumahnya.

Kebetulan, saat Idham bersekolah di sana, beberapa guru lulusan Pesantren Gontor, yang terkenal dengan kelebihannya dalam pendidikan bahasa, direkrut untuk membantu mengembangkan pendidikan. Hal itu membuat Idham yang sedang tumbuh dan gandrung dengan pengetahuan mendapatkan banyak kesempatan untuk mendalami bahasa Arab, bahasa Inggris, dan ilmu pengetahuan umum.

Di mata para siswa dan wali murid, guru-guru alumni Gontor itu sangat hebat. Tak mengherankan, banyak siswa, termasuk Idham, bercita-cita melanjutkan pendidikannya ke pesantren yang didirikan oleh K.H. Imam Zarkasyi di Ponorogo, Jawa Timur, itu. Dan belasan tahun kemudian kehebatan Idham Chalid yang telah menjadi alumnus Gontor juga menginspirasi banyak orangtua nahdliyyin untuk mengirimkan anaknya nyantri di Gontor.

Di Gontor, otak cerdas Idham Chalid lagi-lagi membuat namanya bersinar. Durasi belajar yang umumnya ditempuh selama delapan tahun dilewatinya hanya dalam tempo lima tahun. Tiga tahun di Kuliyyatul Mu’alimin dan dua tahun di Kweekschool Islam Bovenbouw.

Kegiatan favoritnya di pesantren adalah kepanduan, yang kelak ditularkan kepada murid-muridnya di Amuntai dan di Cipete. Kesempatan belajar di Gontor juga dimanfaatkan Idham untuk memperdalam bahasa Jepang, Jerman, dan Prancis. Maka, ditambah modal awal penguasaan bahasa Arab, Inggris, dan Belanda, praktis Idham menguasai enam bahasa.

Tamat dari Gontor, 1943, Idham, yang gemar mengamalkan wirid Dalailul Khairat, melanjutkan pendidikan di Jakarta. Di kota itu kefasihan Idham dalam berbahasa Jepang membuat penjajah Dai-Nipon sangat kagum. Dalam sebuah kesempatan Idham bahkan diundang berkunjung ke Negeri Sakura. Pihak Jepang juga sering memintanya menjadi penerjemah dalam beberapa pertemuan dengan alim ulama.

Kenangan akan hal itu terekam dengan baik dalam ingatan K.H. Saifudin Zuhri (K.H. Saifudin Zuhri, Guruku Orang-orang dari Pesantren, LKIS, 2001), “Ia memang terampil sekali menyalin pidato pembesar Jepang itu ke dalam bahasa Indonesia, sampai-sampai Jepang mengira pidatonya belum selesai. Ia berbicara dengan cepat dan beraksen Jepang juga.” Dalam pertemuan-pertemuan itulah Idham mulai akrab dengan tokoh-tokoh utama NU.

Kabar tentang kunjungan Idham ke Jepang akhirnya sampai juga ke telinga kedua orangtuanya di Amuntai. Bukannya senang, mereka justru khawatir anaknya akan semakin akrab dengan penjajah. Akhirnya Idham disuruh pulang kampung dan tak lama kemudian diserahi tugas mengepalai Madrasah Ar-Rasyidiyyah, yang telah setahun vakum.

Karier Fenomenal
Dengan semangat meledak-ledak ia menata sistem di madrasahnya. Nama Madrasah Ar-Rasyidiyyah ia ganti menjadi Noormaal Islam Amuntai. Ia juga menggalakkan penanaman nasionalisme kepada para guru dan murid-muridnya melalui gerakan kepanduan. Untuk menyiasati pengawasan ketat penjajah Jepang, Idham mengubah syair lagu Indonesia Raya dan lagu-lagu perjuangan lain ke dalam bahasa Arab.

Untuk menggugah kesadaran nasionalisme madrasah dan pesantren lain di Kalimantan Selatan, Idham juga mendirikan Ittihadul Ma’ahidil Islamiyyah (IMI). Segera saja puluhan pesantren dan madrasah bergabung untuk saling menguatkan dan menopang perjuangan masing-masing.

Ketika Jepang kalah perang dan Sekutu masuk Indonesia, Idham Chalid bergabung ke dalam badan-badan perjuangan. Menjelang kemerdekaan, ia aktif dalam Panitia Kemerdekaan Indonesia Daerah (HSU) di kota Amuntai. Setelah Proklamasi Kemerdekaan ia bergabung dengan Persatuan Rakyat Indonesia, sebuah partai lokal yang berjuang mempertahankan kemerdekaan, kemudian pindah ke Serikat Muslim Indonesia (Sermi).

Tahun 1947 ia bergabung dengan Sentral Organisasi Pemberontak Indonesia Kalimantan (SOPIK) yang dipimpin Hassan Basry, muridnya saat di Gontor. Sayap militer SOPIK yang diberi nama Lasykar Saifullah kelak dilebur menjadi Divisi IV Angkatan Laut RI (ALRI). Karena keterlibatannya dalam SOPIK itulah pada tahun 1949 Idham ditangkap tentara NICA.

Usai perang kemerdekaan, Idham diangkat menjadi anggota Parlemen Sementara RI mewakili Kalimantan. Tahun 1950 ia terpilih lagi menjadi anggota DPRS mewakili Masyumi. Dan ketika NU memisahkan diri dari Masyumi, tahun 1952, Idham memilih bergabung dengan Partai Nahdlatul Ulama dan terlibat aktif dalam konsolidasi internal ke daerah-daerah. Pilihannya tepat, sebab lima tahun kemudian Masyumi dibubarkan oleh Presiden Soekarno.

Idham memulai kariernya di NU dengan aktif di GP Ansor. Tahun 1952 ia diangkat sebagai ketua PB Ma’arif, organisasi sayap NU yang bergerak di bidang pendidikan. Pada tahun yang sama ia juga diangkat menjadi sekretaris jenderal partai dan dua tahun kemudian menjadi wakil ketua. Selama masa kampanye Pemilu 1955, Idham memegang peran penting sebagai ketua Lajnah Pemilihan Umum NU (Lapunu), semacam tim pemenangan pemilu.

Sepanjang tahun 1952-1955, ia, yang juga duduk dalam Majelis Pertimbangan Politik PBNU, sering mendampingi Rais Am, K.H. Abdul Wahhab Chasbullah, berkeliling ke seluruh cabang NU di Nusantara. Dari kiai sepuh ahli politik itulah ia banyak belajar ilmu kelihaian berpolitik, seperti teknik berorganisasi, mengorganisir massa, berdebat, berpidato, dan membangun jaringan dukungan serta mengasah instingnya.

Prestasinya semakin menjulang, dalam pemilu NU berhasil menyabet peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi. Apalagi ketika dua tahun kemudian Masyumi dibubarkan, yang praktis membuat NU menjadi satu-satunya partai Islam terbesar dalam kancah perpolitikan tanah air.

Karena perolehan suara yang cukup besar dalam Pemilu 1955, pada pembentukan kabinet tahun berikutnya NU mendapat jatah lima menteri, termasuk satu kursi wakil perdana menteri (waperdam), yang oleh PBNU diserahkan kepada Idham Chalid. Awalnya ia menolak, karena merasa tidak mampu, dan dengan tulus mengusulkan agar jabatan itu diserahkan kepada K.H. Muhammad Dahlan, ketua umum PBNU saat itu.

Namun para ulama sepuh NU bersikukuh pada pilihan pertama, Idham Chalid menjadi waperdam. Baru setelah didesak oleh Mr. Ali Sastroamijoyo, yang terpilih menjadi perdana menteri, Idham bersedia menyandang jabatan tersebut. Kegemilangan karier Idham tak hanya berhenti di situ. Pada Muktamar NU ke-21 yang digelar di Medan bulan Desember tahun yang sama, Idham terpilih menjadi ketua umum PBNU menggantikan Muhammad Dahlan.

Pesatnya peningkatan karier Idham Chalid itu sangat fenomenal, mengingat ia berbeda dari kebanyakan pengurus NU lainnya. Ia baru berusia 35 tahun, tidak mempunyai darah biru pesantren dan alumni Pesantren Modern Gontor, yang dianggap lebih dekat ke Muhammadiyyah daripada NU. Namun begitulah garis takdir yang ditentukan Allah.

Kabinet Ali Sastroamijoyo hanya bertahan setahun, kemudian jatuh dan berganti dengan Kabinet Djuanda. Namun Idham Chalid tetap bertahan di posisi wakil perdana menteri sampai Dekrit Presiden tahun 1959, yang membubarkan parlemen dan Kabinet Djuanda. Idham kemudian ditarik menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung, dan setahun kemudian menjadi wakil ketua MPRS.

Kedekatannya dengan Bung Karno dan Kiai Wahhab, salah seorang penasihat presiden, merupakan salah satu sebab yang membuatnya bertahan di kursi itu sampai tahun 1966. Kedekatan khusus Idham dengan Presiden sebenarnya tidak hanya menguntungkan dirinya sendiri, tetapi juga warga nahdliyyin umumnya. Dengan memanfaatkan hubungan istimewa itu beberapa kali ia menyelamatkan tokoh-tokoh NU dari “kesalahpahaman” Presiden.

Salah seorang tokoh yang pernah ia selamatkan adalah Yusuf Hasyim, yang sempat nyaris dipenjara karena dianggap desersi. Berkat grasi Presiden, atas permintaan Idham Chalid, tokoh yang belakangan dikenal sebagi Pak Ud itu dibebaskan.

Pertengahan tahun 1966 Orde Lama tumbang dan tampillah Orde Baru. Namun posisi Idham di pemerintahan tidak ikut tumbang. Dalam kabinet Ampera yang dibentuk Soeharto, ia dipercaya menjabat menteri kesejahteraan rakyat sampai tahun 1970 dan menteri sosial sampai 1971.

Nahdlatul Ulama yang dipimpin Idham kembali mengulang sukses dalam Pemilu 1971. Namun kesuksesan itu tak mampu membuat sumringah wajah para pemimpin NU, sebab pemilu tersebut menjadi yang terakhir yang diikuti NU. Setelah itu pemerintah melebur seluruh partai menjadi hanya tiga partai: Golkar, PDI, dan PPP. Dan NU tergabung di dalam PPP. Meski muncul ketidakpuasan di hati para pemimpin NU, Idham dan kawan-kawan lebih memilih menurut saja.

Setelah itu Idham Khalid diberi jabatan bergengsi tapi tak bergigi, presiden PPP, yang dijabatnya sampai tahun 1989. Ia juga terpilih menjadi ketua DPR/MPR RI sampai tahun 1977. Setelah itu jabatan ketua selalu menjadi jatah langganan partai pemerintah. Jabatan terakhir yang dipegang Idham Chalid adalah ketua Dewan Pertimbangan Agung.

Kesepakatan yang Dikhianati
Namun di antara berbagai gonjang-ganjing dalam hidupnya, yang paling menyesakkan dada Kiai Idham Chalid adalah konflik Cipete-Situbondo, yang pecah dua tahun menjelang Muktamar NU di Pesantren Asembagus, Situbondo, Jawa Timur, tahun 1984. Konflik itu pada dasarnya merupakan letupan kekecewaan tokoh-tokoh NU atas politik diskriminasi pengurus PPP terhadap para politisi NU.

Peleburan NU ke dalam PPP ini seperti kembali ke masa NU sebagai bagian dari Masyumi. Konflik yang terjadi pada masa lalu ketika NU berada di Masyumi akhirnya berulang dalam PPP. Friksi pada awalnya memang tidak tampak. Namun menjelang Pemilu 1982, ketika Ketua Umum PPP Dr. H.J. Naro menyusun daftar calon legislatif dan dinilai kurang menampung banyak tokoh NU, konflik pun akhirnya muncul.

Pada era Orba tersebut, sikap politikus NU sebenarnya cukup kritis terhadap pemerintah. Setidaknya ada beberapa peristiwa yang mengingatkan kita betapa kader nahdliyyin itu bersuara kritis terhadap pemerintah. Usul interpelasi yang diajukan oleh anggota FPP terhadap kebijakan pemerintah menyangkut NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) waktu itu akhirnya kalah karena kurang mendapat dukungan fraksi lain, terutama Golkar, sebagai pendukung pemerintah. Para politikus NU di PPP juga bersuara keras soal Undang-undang Perkawinan dan masuknya aliran kepercayaan dalam GBHN.

Namun, semua perjuangan itu harus dibayar mahal. Sebab pada perkembangannya, NU, yang berada dalam PPP, akhirnya terpinggirkan. Muktamar I PPP yang digelar di Ancol Jakarta pada 1984, tidak melibatkan Idham Chalid sebagai presiden PPP waktu itu. Mudah diduga, akhirnya orang-orang NU yang semula memegang posisi penting dalam kepengurusan PPP harus menerima kenyataan: hanya sebagai pelengkap. Jabatan pimpinan tertinggi PPP dipegang oleh orang bukan NU, bahkan sekjen juga tidak dipegang NU. Dalam perkembangannya, akhirnya kader-kader NU yang masuk dalam daftar calon jadi anggota DPR jauh berkurang, sedangkan roda partai dikendalikan orang-orang bukan NU. Didominasi Muslimin Indionesia (MI).

Akhirnya, kondisi ini menyadarkan orang-orang NU untuk mengoreksi berbagai hal yang dinilai merugikan NU. Misalnya, karena pada sisi yang lain ketika NU berpolitik, sebagian pemimpinnya sibuk berpolitik, yang berdampak pada terabaikannya urusan sosial-keagamaan, pendidikan, dan lain-lain. Dan tidak mengherankan, kekecewaan orang NU kemudian ditujukan kepada Dr. Idham Chalid, kemudian menjadi konflik Cipete-Situbondo, yang berbuntut pada pengunduran diri (dan pencabutan pengunduran diri) Idham Chalid.

Dalam surat pencabutan pengunduran diri yang ia kirimkan untuk PBNU, yang salinannya diperlihatkan salah satu murid Kiai Idham kepada penulis pertengahan Desember lalu, sang kiai menuturkan dengan runtut apa yang terjadi seputar pengunduran dirinya dari jabatan ketua umum PBNU dan pencabutannya dua hari kemudian.

Hari itu, 4 Mei 1982, rumah Kiai Idham Chalid kedatangan tamu empat ulama sepuh NU, yaitu K.H. As’ad Syamsul Arifin dari Situbondo, K.H. Makhrus Ali dari Lirboyo, K.H. Ahmad Shiddiq dari Jember, dan K.H. Masykur dari Jakarta. Mereka didampingi K.H. Mujib Ridwan, sekretaris PBNU.

Setelah saling menanyakan kabar, Kiai As’ad selaku juru bicara para kiai sepuh mengatakan, “Karena kesehatan sampean yang semakin menurun, kami meminta sampean melepaskan jabatan ketua umum PBNU.” Karena menghormati para kiai sepuh, tanpa banyak membantah, Idham Chalid bersedia mengundurkan diri.

Kiai Mujib Ridwan, dengan berlinang air mata, kemudian menyerahkan selembar kertas yang sudah dipersiapkan para kiai sepuh yang berisi peryataan pengunduran diri. Sebelum menandatanganinya, Idham mengajukan sebuah syarat. Ia meminta agar pengunduran diri itu tidak diumumkan dulu sampai tanggal 6 Mei 1982.

Kiai Idham, yang tidak ingin ada gejolak, minta waktu untuk menyampaikan peristiwa itu secara perlahan kepada para pengikut dan pendukungnya. Setelah semua yang hadir saat itu menyetujui permintaannya, Idham pun menandatangani surat tersebut.

Namun alangkah terkejutnya Kiai Idham Chalid ketika sore harinya ia mendapat telepon dari Surabaya yang menanyakan kebenaran berita pengunduran dirinya. Tak lama kemudian telepon bertubi-tubi datang dari para pendukunganya di luar Jawa. Mereka mendesak kiai sepuh itu untuk mencabut surat pengunduran dirinya dan kembali menjalankan tugasnya sebagai ketua PBNU.

Kecewa karena perjanjian yang telah disepakati dilanggar, Kiai Idham pun lalu menulis surat pencabutan pengunduran dirinya dan mengirimnya ke PBNU. Keputusan Idham membuat para kiai meradang. Sejak itu muncullah dua kelompok NU yang terus bersitegang hingga pelaksanaan muktamar di Situbondo.

Ketika muktamar digelar, sebenarnya Idham berangkat ke Situbondo. Namun karena banyak gerakan yang berupaya menghalangi kehadirannya, ia pun memilih menginap di sebuah hotel di kawasan wisata pasir putih Situbondo. Meski begitu, dari tanda tangan dukungan peserta muktamar, saat itu Idham telah mengantungi 23 provinsi dari 26 provinsi yang mengikuti muktamar.

Namun lagi-lagi utusan kiai sepuh datang memintanya tidak maju dalam pencalonan ketua umum. Bahkan, menurut salah satu sumber, pemerintah melalui salah seorang pejabat tingginya juga mendesak Idham agar tidak mencalonkan diri, dengan alasan demi menjaga keutuhan NU dan stabilitas politik umat Islam.
Akhirnya Idham mengalah, ia mengundurkan diri dari pencalonan. Baginya kemaslahatan dan keutuhan warga nahdliyyin lebih penting dari apa pun.

Kiai Idham Chalid telah puluhan tahun berjuang mempertahankan stabilitas warga nahdliyyin, berusaha membawa mereka melewati masa transisi dengan selamat, dengan cara apa pun yang dianggapnya halal. Dan Idham rela dicap oportunis demi niat baik tersebut. Namun kali itu ia tidak mau mempertaruhkan keutuhan organisasi yang sangat dicintainya demi jabatan ketua umum. Ia pun kembali ke Jakarta dengan air mata berlinang.

Pengakuan akan sikap Idham yang sangat luar biasa itu juga datang dari Gus Dur, yang dalam satu tulisannya mengisahkan,”.... Demikianlah sikap kesatria yang ditujukan Dr. Idham Chalid. Apa pun kata orang tentang dirinya, ia telah menunjukkan bahwa kepentingan NU (termasuk kepentingan politik dari organisasi keagamaan Islam terbesar di dunia itu) adalah pegangannya.” (Tulisan Gus Dur di gusdur.net yang berjudul Akan Pecahkah NU?).

“Oportunis” demi Umat
Idham oportunis seperti yang dituduhkan kalangan muda NU? Tentu benar dalam pengertian oportunis sebagai sebuah siasat untuk menyelamatkan umat. Inilah sikap seorang nahdliyyin dan Sunni sejati. Bukankah doktrin politik Sunni yang diajarkan oleh Al-Baqillani, Al-Mawardi, Ibnu Taymiyyah, bahkan Al-Ghazali, selalu mengajarkan setiap ulama untuk menjadi “oportunis”: dalam konteks untuk menyelamatkan umat dari ancaman penguasa, ulama Sunni boleh mendekati dan berkompromi dengan penguasa. Strategi bersikap “oportunis” demi umat itu pula yang ia pelajari dari para politisi senior NU generasi awal.

Sejak ia mengundurkan diri dari pencalonan, namanya semakin tenggelam dan menghilang dari hiruk-pikuk dunia perpolitikan negeri ini. Juga dari panggung Nahdlatul Ulama, yang telah membesarkan namanya.

Setelah tidak memimpin lagi, baik di NU maupun PPP, Kiai Idham Chalid lebih banyak berada di Cipete, di tengah yayasan pendidikan Darul Ma’arif, yang didirikannya. Ia juga mengurus Jamiyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah, yang kemudian memilihnya menjadi ketua.

Dua minggu sekali Kiai Idham Chalid mengajar kitab di masjid Darul Ma’arif, tak jauh dari rumahnya. Sedangkan untuk memperingati hari-hari besar Islam, ia lebih suka memakai rumahnya di Jalan Mangunsarkoro, Jakarta Pusat, yang selalu disertai dengan pengajian besar-besaran. Belakangan, untuk mengobati sakit lehernya, Idham acap mondar-mandir ke Singapura dan Jepang.

Dan semua aktivitas itu terhenti ketik delapan tahun lalu Idham terserang stroke. Sejak itu ia lebih banyak menghabiskan sisa usianya di atas pembaringan. Menurut putranya, Aunul Hadi, 40 tahun, dalam sebuah wawancara dengan media, untuk biaya pengobatan sang ayah diperlukan sekitar Rp 10 juta per bulan, yang menjadi tanggungan keluarga. “Untungnya pihak keluarga punya ruko di Jalan Fatmawati, dekat rumah. Hasil penyewaan ruko sebanyak lima pintu ini sebagian untuk mensubsidi perguruan Daarul Ma'arif dan sisanya untuk pengobatan Ayah,” ujar Aunul.

Perguruan Islam ini berkembang dari TK sampai perguruan tinggi, dengan santri dan mahasiswa yang kini jumlahnya lebih dari 1.700 orang. “Dari segi bisnis perguruan Islam ini memang tidak menguntungkan. Dapat bertahan hingga sekarang sudah bagus,” kata Aunul.

Ia mengungkapkan, sebelumnya keluarga ingin membuat perguruan tersebut menjadi perguruan unggulan seperti Al-Azhar, namun ayahnya itu tak berkenan. “Bapak bilang, yang penting anak-anak tukang sapu, tukang sayur, yang miskin dan tak pintar, masih bisa menikmati pendidikan,” ujar Syaiful Hadi, 45 tahun, putra lainnya.

Idham sendiri telah mewakafkan setengah dari 1,5 hektare luas perguruan Daarul Ma'arif ini. Sedangkan, setengah bagian lainnya diwariskan untuk keluarganya. Tokoh yang mendapat gelar doktor honoris causa dari Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, bersama Buya Hamka ini juga telah mendirikan Daarul Qur'an di Cisarua, Bogor, dan juga telah mewakafkan perguruan dengan luas 3.500 meter persegi ini kepada umat. Di sini ia memelihara ratusan anak yatim piatu. Menurut Aunul, ayahnya itu telah berwasiat, bila meninggal kelak jasadnya dimakamkan di tempat tersebut.

Idham, yang sederhana dan teguh pendirian, pernah menolak jabatan wakil presiden hingga dua kali pada masa Presiden Soeharto. Dalam buku Memori Jenderal Yoga Sugama ditulis, ketika disodori jabatan untuk menggantikan Sri Sultan sebagai wapres, Idham menolaknya. Akhirnya pilihan jatuh pada Adam Malik, yang saat itu menjabat ketua MPR/DPR hasil Pemilu 1977. Pada 1983, Idham juga menolak ketika ditawari menjadi ketua umum MUI. Beragam penolakan juga dilakukan Idham saat hendak dianugerahi Ramon Magsasay Award oleh pemerintah Filipina. Alasannya, Presiden Marcos kala itu tak berlaku demokratis, dan menekan kaum muslim Moro.

Dan kini, di usianya yang telah sangat senja, 88 tahun, Idham Chalid, politisi NU yang piawai itu, berpulang ke pangkuan Kekasih Sejati-nya. Mempertimbangkan jasa dan pengabdiannya yang luar biasa bagi NU, mungkin sudah saatnya kita mengembalikan nama baik dan kehormatannya. Tentu dengan iringan maaf bila ada sedikit kekhilafan yang membayangi langkah dan kebijakannya, serta tempat terindahlah yang dianugerahkan Allah SWT baginya. Amin. (Kang Iftah, Januari 2008 - Juli 2010)

Monday, February 15, 2010

K.H. Ahmad Umar Abdul Mannan

PURNAMA DI KOTA BENGAWAN

Ia adalah salah seorang ulama Al-Quran yang shalih, wara’, dan kharismatik. Beberapa ulama thariqah juga meyakini pengasuh pesantren terkemuka ini adalah waliyullah.

Di era tahun 1970 hingga 1980an, di Jawa ada beberapa ulama yang dikenal sebagai ahlul Quran, pemegang otoritas pengajaran Al-Quran yang mu’tabar. Selain mengajarkan pembacaan dan penghafalan Al-Quran yang memiliki sanad yang musalsal, diakui kebersambungannya, hingga Rasulullah SAW, mereka juga diyakini mendapat anugerah khusus dari Allah berupa pengetahuan tentang sebagian asrar Al-Quran, rahasia spiritual Al-Quran.

Di antara ulama ahlul Quran yang termasyhur pada kurun tersebut adalah K.H. Ahmad Umar Abdul Mannan, pengasuh Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan, Surakarta, Jawa Tengah. Kedalaman ilmu murid kesayangan K.H.R. Muhammad Moenawwir Krapyak,Yogyakarta, itu diakui oleh ulama pesantren pada masanya dan pemerintah. Terbukti dari penunjukannya sebagai juri MTQ Internasional tahun 1953 yang digelar di Jakarta, padahal waktu itu usianya baru 37 tahun.

Di bawah kepemimpinan sang ahlul Quran tak mengherankan jika Pesantren Mangkuyudan, demikian lembaga pendidikan itu biasa disingkat, kemudian menjadi salah satu tujuan favorit para santri. Baik mereka yang baru akan menghafal Al-Quran, maupun yang sudah hafal dan hendak mengaji tabarukan. Bahkan hingga kini, 28 tahun setelah sangallamah wafat, makamnya di kompleks Pesantren Al-Muayyad masih kerap diziarahi, terutama pada malam peringatan haulnya yang jatuh pada tanggal 21 Ramadhan.

Tak hanya menguasai pelbagai ilmu Al-Quran, Mbah Kiai Umar juga dikenal sebagai ahli fiqih jempolan. Pengakuan akan hal itu terbukti dari pengangkatannya sebagai hakim agama di kodya Surakarta, dan belakangan menjadi kepala Pengadilan Agama Tinggi se Jawa-Madura hingga wafatnya.

Selain itu, beberapa tokoh thariqah juga peranh menceritakan bahwa Kiai Ahmad Umar adalah salah salah seorang mursyid Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah yang mengambil ijazahnya dari K.H. Manshur, Popongan, Klaten. Namun dalam ranah thariqah ini, konon hingga wafatnya Kiai Umar tidak pernah mengangkat satu orang murid pun.

Sementara dalam hal memberikan ijazah sanad Al-Quran, Kiai Umar juga terbilang sangat berhati-hati. Meski murid tahfizhul Qurannya ribuan, hanya beberapa gelintir santri saja kemudian diketahui telah mendapatkan ijazah sanad Al-Quran. Hal ini disebabkan persyaratan ketat yang ditetapkan sang kiai yang meliputi akhlaq, ketekunan dalam beribadah serta kesungguhan dalam mengaji.

Mengisi Bak Mandi
Dari penuturan keluarga serta para alumni yang pernah mengaji langsung kepada Kiai Umar, banyak hal istimewa dan mengandung keteladanan yang tertoreh dalam sejarah hidup sang allamah.

Ahmad Umar yang lahir pada 5 Agustus 1916 adalah putra Kiai Abdul Manan bin Chasan Adi, sang kakek adalah ulama yang diangkat oleh Keration Kasunanan Surakarta menjadi demang di Wonogiri. Bercita-cita menjadi penghafal Al-Quran, sang ayah, Abdul Mannan, berguru kepada Kiai Ahmad di Pesentren Kadirejo, Karanganom, Klaten. Namun sang guru yang waskita jauh-jauh hari telah memberitahunya, bukan ia yang akan berhasil menjadi hafizhul Quran, tetapi anak cucunya.

Mendengar hal itu, Abdul Mannan pun mengganti usahanya menghafal dengan tirakat mendoakan anak cucunya tanpa kenal lelah. Selama nyantri di Kdirejo, misalnya, setiap malam dengan diam-diam ia selalu mengisi bak mandi pengasuh pesantrennya sampai airnya penuh meluber sambil membaca kalimat tasbih. Di tengah tirakatnya yang berlangsung sekitar dua tahunan itu ia juga berdoa semoga anak keturunannya akan memiliki ilmu yang berlimpah dan bermanfaat laksana sumur yang selalu menyediakan air bagi yang membutuhkan dan kolam yang airnya meluber membasahi sekitarnya.

Tentu saja awalnya sang guru terheran-heran setiap kali akan berwudhu, sebelum shalat tahajud, karena bak mandinya penuh berisi air. Dengan mata batinnya, kemudian ia ahu siapa yang telah melakukannya. Kiai Ahmad pun lalu mendoakan Abdul Mannan agar tirakat yang dilakukannya diterima dan cita-citanya dikabulkan oleh Allah SWT.

Doa itu terwujud kelak dikemudian hari, empat dari sembilan anak Abdul Manan menjadi penghafal Al-Quran. Mereka adalah Ahmad Umar, Muhammad Nidhom, Ahmad Jisam, dan Musyarofah. Lima anak lain meski tidak hafal namun telah menkhatamkan Al-Quran dengan bin nazhar alias membaca dengan fasih, tartil, dan lancar.

Ahmad Umar sendiri sebelum menjadi ulama Al-Quran yang jempolan sempat malang melintang mengaji di berbagai pesantren. Sebelum berangkat ke pesantren, ia mengawalinya dengan mengaji Al-Quran kepada Prof. K.H. R. Muhammad Adnan, alias Den Kaji Ngadenan, di kampung Tegalsari, Solo. Setelah itu barulah Umar nyantri di pesantren Termas, Arjosari, Pacitan yang diasuh K.H. Dimyathi Abdullah.

Proses nyantri pertama itu sendiri bukan hal yang mudah bagi Ahmad Umar, sebab sebelum mengijinkan berangkat sang ayah memberikan tiga syarat yang harus ia penuhi : pertama, tidak boleh pulang ke rumah sebelum tiga tahun mondok. Kedua tidak boleh mengharapkan uang kiriman dari orang tua. Dan ketiga, harus berkhidmat kepada pimpinan pesantren dan keluarga mereka.

Pupuk Kandang
Ia berhasil. Tiga tahun (1931 – 1934) nyantri di Tremas Umar yang baru menginjak usia 15 tahun berhasil menghafal Quran. Selepas dari Tremas, langkah pengembaraannya membawa Ahmad Umar ke Pesantren Krapyak Yogyakarta, yang kelak dikenal dengan nama Pesantren Al-Munawwir, sebuah pesantren tahfzizhul Quran yang tengah naik daun karena kharisma pengasuhnya, K.H. R. Moenawwir, yang dikenal sebagai ulama ahlul Quran lulusan Al-Haramain.

Di Krapyak, Umar yang sudah hafal Al-Quran harus mengulang pengajiannya dari awal lagi. Tak tanggung-tanggung, untuk menyelesaikan pembacaan surah Al-Fatihah dengan baik dan benar menurut standar Mbah Moenawwir saja, ia harus mengaji selama tiga bulan. Sulit memang, namun di situlah kuncinya. Begitu lewat dari surah Al-Fatihah, pengajian surah-surah berikutnya mengalir dengan lancar.

Dua tahun kemudian (1936), Ahmad Umar, yang sehari-hari ditugaskan belanja kebutuhan dapur keluarga kiai, berhasil menyelesaikan pengajian tahfizhul Quran dan qiraat sab’ah serta mendapat ijazah sanad silsilah dan ijin mengajarkan Al-Quran.

Belum puas mereguk kenikmatan belajar, tahun 1936 Kiai Umar muda mengembara lagi Jawa Timur. Kali itu ia nyantri di Pesantren Mojosari, Nganjuk. yang diasuh oleh seorang ulama yang termasyhur sebagai waliyullah, yaitu K.H. Zaenuddin.

Berbekal ilmu dari berbagai pesantren, tahun 1937 Kiai Umar mulai menggelar pengajian Al-Quran untuk keluarganya. Karena banyak yang tertarik perlahan pengajian itu melebar ke tetangga kiri kanan dan akhirnya kemana-mana.

Melihat aktivitas putranya, Abdul Manan kemudian mempersilahkan Umar untuk memanfaatkan tanah perkebunan kelapa seluas 3500 meter persegi yang sebelumnya telah dijariyahkan oleh K.H. Ahmad Shofawi, ulama konglomerat kota Solo yang merupakan sahabat Abdul Mannan saat nyantri dulu.

Di kebun itu lalu dibangun rumah dari bilik bambu dan sebuah mushalla sebagai tempat pengajian. Santri-santri angkatan pertama adalah keluarga, tetangga dan para buruh perusahaan batik milik K.H. Ahmad Shofawi. Dari pengajian di tengah kebun yang terletak di kampung Mangkuyudan itulah sejarah Pesantren Al-Muayyad bermula. Tak ada yang menduga bilik bambu itu kelak akan pesantren megah berlantai empat seperti saat ini.

Meski pengajiannya cukup diminati, bukan berarti perjalanan dakwah Kiai Umar berlangsung mulus. Kampung Mangkuyudan, sebelumnya dikenal sebagai kampung abangan. Bahkan sebagian warganya adalah pengikut partai komunis. Mereka itulah yang kerap menggangu pesantren yang baru berdiri itu.

Saat di bangun asrama putra, misalnya, tak jarang para sntri menemukan kotoran hewan dan manusia bertebaran di lantai pesantren. Saat mengetahui bahwa yang melakukannya adalah para tetangga komunis mereka, para santri pun menyusun rencana pembalasan. Namun entah mendengar dari mana, tiba-tiba mereka semua dipanggil sang guru dan dinasehati agar tidak membalas dendam.

“Bukankah kotoran itu adalah pupuk yang mujarrab? Mudah-mudahan pesantren ini akan berkembang pesat subur karena saat tumbuh banyak diberi pupuk kandang,” kata Mbah Umar lembut.

Banyak keteladanan yang ditinggalkan Kiai Umar untuk santr-santrinya. Dalam Manaqib Kiai Umar yang disusun oleh K.H. A. Baidhowi Syamsuri, pengasuh Pesantren Brabo yang juga santri dan menantu keponakan sang kiai, banyak dikisahkan keutamaan akhlak Kiai Umar.


Wali Autad
Mbah Umar sejak muda dikenal sangat rendah hati dan bersahaja. Terhadap orang kecil, semisal tukang becak, ia tak segan-segan menyapa terlebih dulu. Para tukang becak yang mangkal di sekitar pesantre juga mengaku senang melayani Kiai Umar, karena sang kiai selalu memberi uang lebih banyak dari ongkos yang seharusnya dibayar. Mereka terkesan karena setiap membayar ongkos Kiai Umar tidak pernah lupa menyatakan terimakasih dan mendoakan mereka agar laris dan tambah giat ibadahnya.

Demikian tingginya perhatian Kiai Umar terhadap fakir miskin. Ketika hari rayakurban, misalnya. Bila jatah daging kurban yang dibagikan telah habis padahal yang belum kebagian masih banyak, ia tak segan membeli sendiri daging kambing ke pasar dan membagikan kepada yang belum kebagian.

Meski sudah dikenal sebagai ulama besar, namun kiai Umar tidak segan-segan mendatangi para kiai sepuh untuk menanyakan hal-hal yang meragukan. Bahkan tak jarang ia menanyakan suatu hal kepada santri yang dianggap lebih memamahami persoalan tersebut.

Terhadap para santri yang nakal Kiai Umar juga mempunyai sikap yang istimewa. Pernah suatu ketika Mbah Umar minta pengurus mendaftar santri yang nakal. Tak pelak para pengurus yang sebelumnya sudah geram dengan tingkah polah santri-santri nakal itu bersorak gembira. Mereka membayangkan para santri akan segera dikeluarkan dari pesantren.

Namun ternyata yang terjadi berikutnya tak seperti yang mereka harapkan. Di depan pengurus pula Kiai Umar kemudian mendoakan santri-santri tersebut agar kelak menjadi ulama yang shalih. Secara tak langsung Kiai Umar juga ingin menasihati para pengurus, agar jika kelak menjadi kiai mereka pun harus bersikap bijak terhadap santri dan tak mudah menjatuhkan vonis yang memberatkan.

Karena keluhuran budi, ketekunan beribadah dan kedalaman ilmu itu pulalah banyak ulama sepuh dan ali thariqah yang meyakini Kiai Umar adalah salah satu waliyullah. Bahkan K.H. Ma’shum Lasem, dan K.H. Mubasyir Mundzir, Bandar Kidul, Kediri, dua ulama sepuh yang termasyhur sebagi kekasih Allah, pernah menyatakan bahwa Kiai Umar yang seumur hidupnya selalu menjaga wudhu dan shalat berjamaah itu adalah salah seorang anggota wali autad, yakni tingkatan yang setiap masa anggotanya hanya empat orang.

Ada juga ulama besar tokoh thariqah yang menyebut Kiai Umar sebagai salah seorang anggota wali abdal, tingkatan wali yang setiap masa anggotanya hanya tujuh orang. Ini diperkuat oleh cerita tentang karamah-karamah Kiai Umar yang pernah disaksikan oleh para santri, keluarga dan kiai-kiai lain.

K.H. Ahmad Umar wafat pada tanggal 11 Ramadhan 1400 H/24 Juni 1980 M, meninggalkan seorang istri, Nyai Hj. Shofiyyah Umar. Atas permintaan dua sahabatnya, Kiai Abdul Ghoni Ahmad Sajadi dan H. Wongso Bandi, jenazah sang allamah dimakamkan di belakang masjid Al Muayyad, di tengah kompleks pesantren yang didirikannya.

Dua bulan sebelumnya, kedua orang yang dekat dengan Kiai Umar itu sempat berbincang bahwa biasanya pesantren akan pudar sinarnya bila kiainya wafat tanpa meninggalkan anak. Untuk “mengatasi” hal itum berdasarkan petunjuk para kiai sepuh, hendaknya jasad Kiai Umar dimakamkan di kompleks pesantren. Diibaratkan, liang lahat sang kiai akan menjadi “bintang” yang tetap memancarkan cahayanya hingga tidak memudarkan pesantren yang ditinggalkannya.

Sepeninggal Kiai Umar, kepengasuhan Pesantren Al-Muayyad dipegang oleh keponakan tertuanya, K.H. Drs. Abdul Rozaq Shofawi. Sementara pengajian tahfizhul Qurannya digantikan oleh adiknya, K.H. Muhammad Nidhom Abdul Mannan. Dan seperti yang telah diramalkan semula, pesantren yang “ditunggui” jasad pendirinya itu tetap berdiri kokoh dan berkembang pesat hingga saat ini. (Kang iftah, pernah dimuat)