Khazanah Kiai Nusantara

Media Pengabadian Pengabdian-pengabdian Tanpa Pamrih

Monday, February 15, 2010

K.H. Ahmad Umar Abdul Mannan

PURNAMA DI KOTA BENGAWAN

Ia adalah salah seorang ulama Al-Quran yang shalih, wara’, dan kharismatik. Beberapa ulama thariqah juga meyakini pengasuh pesantren terkemuka ini adalah waliyullah.

Di era tahun 1970 hingga 1980an, di Jawa ada beberapa ulama yang dikenal sebagai ahlul Quran, pemegang otoritas pengajaran Al-Quran yang mu’tabar. Selain mengajarkan pembacaan dan penghafalan Al-Quran yang memiliki sanad yang musalsal, diakui kebersambungannya, hingga Rasulullah SAW, mereka juga diyakini mendapat anugerah khusus dari Allah berupa pengetahuan tentang sebagian asrar Al-Quran, rahasia spiritual Al-Quran.

Di antara ulama ahlul Quran yang termasyhur pada kurun tersebut adalah K.H. Ahmad Umar Abdul Mannan, pengasuh Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan, Surakarta, Jawa Tengah. Kedalaman ilmu murid kesayangan K.H.R. Muhammad Moenawwir Krapyak,Yogyakarta, itu diakui oleh ulama pesantren pada masanya dan pemerintah. Terbukti dari penunjukannya sebagai juri MTQ Internasional tahun 1953 yang digelar di Jakarta, padahal waktu itu usianya baru 37 tahun.

Di bawah kepemimpinan sang ahlul Quran tak mengherankan jika Pesantren Mangkuyudan, demikian lembaga pendidikan itu biasa disingkat, kemudian menjadi salah satu tujuan favorit para santri. Baik mereka yang baru akan menghafal Al-Quran, maupun yang sudah hafal dan hendak mengaji tabarukan. Bahkan hingga kini, 28 tahun setelah sangallamah wafat, makamnya di kompleks Pesantren Al-Muayyad masih kerap diziarahi, terutama pada malam peringatan haulnya yang jatuh pada tanggal 21 Ramadhan.

Tak hanya menguasai pelbagai ilmu Al-Quran, Mbah Kiai Umar juga dikenal sebagai ahli fiqih jempolan. Pengakuan akan hal itu terbukti dari pengangkatannya sebagai hakim agama di kodya Surakarta, dan belakangan menjadi kepala Pengadilan Agama Tinggi se Jawa-Madura hingga wafatnya.

Selain itu, beberapa tokoh thariqah juga peranh menceritakan bahwa Kiai Ahmad Umar adalah salah salah seorang mursyid Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah yang mengambil ijazahnya dari K.H. Manshur, Popongan, Klaten. Namun dalam ranah thariqah ini, konon hingga wafatnya Kiai Umar tidak pernah mengangkat satu orang murid pun.

Sementara dalam hal memberikan ijazah sanad Al-Quran, Kiai Umar juga terbilang sangat berhati-hati. Meski murid tahfizhul Qurannya ribuan, hanya beberapa gelintir santri saja kemudian diketahui telah mendapatkan ijazah sanad Al-Quran. Hal ini disebabkan persyaratan ketat yang ditetapkan sang kiai yang meliputi akhlaq, ketekunan dalam beribadah serta kesungguhan dalam mengaji.

Mengisi Bak Mandi
Dari penuturan keluarga serta para alumni yang pernah mengaji langsung kepada Kiai Umar, banyak hal istimewa dan mengandung keteladanan yang tertoreh dalam sejarah hidup sang allamah.

Ahmad Umar yang lahir pada 5 Agustus 1916 adalah putra Kiai Abdul Manan bin Chasan Adi, sang kakek adalah ulama yang diangkat oleh Keration Kasunanan Surakarta menjadi demang di Wonogiri. Bercita-cita menjadi penghafal Al-Quran, sang ayah, Abdul Mannan, berguru kepada Kiai Ahmad di Pesentren Kadirejo, Karanganom, Klaten. Namun sang guru yang waskita jauh-jauh hari telah memberitahunya, bukan ia yang akan berhasil menjadi hafizhul Quran, tetapi anak cucunya.

Mendengar hal itu, Abdul Mannan pun mengganti usahanya menghafal dengan tirakat mendoakan anak cucunya tanpa kenal lelah. Selama nyantri di Kdirejo, misalnya, setiap malam dengan diam-diam ia selalu mengisi bak mandi pengasuh pesantrennya sampai airnya penuh meluber sambil membaca kalimat tasbih. Di tengah tirakatnya yang berlangsung sekitar dua tahunan itu ia juga berdoa semoga anak keturunannya akan memiliki ilmu yang berlimpah dan bermanfaat laksana sumur yang selalu menyediakan air bagi yang membutuhkan dan kolam yang airnya meluber membasahi sekitarnya.

Tentu saja awalnya sang guru terheran-heran setiap kali akan berwudhu, sebelum shalat tahajud, karena bak mandinya penuh berisi air. Dengan mata batinnya, kemudian ia ahu siapa yang telah melakukannya. Kiai Ahmad pun lalu mendoakan Abdul Mannan agar tirakat yang dilakukannya diterima dan cita-citanya dikabulkan oleh Allah SWT.

Doa itu terwujud kelak dikemudian hari, empat dari sembilan anak Abdul Manan menjadi penghafal Al-Quran. Mereka adalah Ahmad Umar, Muhammad Nidhom, Ahmad Jisam, dan Musyarofah. Lima anak lain meski tidak hafal namun telah menkhatamkan Al-Quran dengan bin nazhar alias membaca dengan fasih, tartil, dan lancar.

Ahmad Umar sendiri sebelum menjadi ulama Al-Quran yang jempolan sempat malang melintang mengaji di berbagai pesantren. Sebelum berangkat ke pesantren, ia mengawalinya dengan mengaji Al-Quran kepada Prof. K.H. R. Muhammad Adnan, alias Den Kaji Ngadenan, di kampung Tegalsari, Solo. Setelah itu barulah Umar nyantri di pesantren Termas, Arjosari, Pacitan yang diasuh K.H. Dimyathi Abdullah.

Proses nyantri pertama itu sendiri bukan hal yang mudah bagi Ahmad Umar, sebab sebelum mengijinkan berangkat sang ayah memberikan tiga syarat yang harus ia penuhi : pertama, tidak boleh pulang ke rumah sebelum tiga tahun mondok. Kedua tidak boleh mengharapkan uang kiriman dari orang tua. Dan ketiga, harus berkhidmat kepada pimpinan pesantren dan keluarga mereka.

Pupuk Kandang
Ia berhasil. Tiga tahun (1931 – 1934) nyantri di Tremas Umar yang baru menginjak usia 15 tahun berhasil menghafal Quran. Selepas dari Tremas, langkah pengembaraannya membawa Ahmad Umar ke Pesantren Krapyak Yogyakarta, yang kelak dikenal dengan nama Pesantren Al-Munawwir, sebuah pesantren tahfzizhul Quran yang tengah naik daun karena kharisma pengasuhnya, K.H. R. Moenawwir, yang dikenal sebagai ulama ahlul Quran lulusan Al-Haramain.

Di Krapyak, Umar yang sudah hafal Al-Quran harus mengulang pengajiannya dari awal lagi. Tak tanggung-tanggung, untuk menyelesaikan pembacaan surah Al-Fatihah dengan baik dan benar menurut standar Mbah Moenawwir saja, ia harus mengaji selama tiga bulan. Sulit memang, namun di situlah kuncinya. Begitu lewat dari surah Al-Fatihah, pengajian surah-surah berikutnya mengalir dengan lancar.

Dua tahun kemudian (1936), Ahmad Umar, yang sehari-hari ditugaskan belanja kebutuhan dapur keluarga kiai, berhasil menyelesaikan pengajian tahfizhul Quran dan qiraat sab’ah serta mendapat ijazah sanad silsilah dan ijin mengajarkan Al-Quran.

Belum puas mereguk kenikmatan belajar, tahun 1936 Kiai Umar muda mengembara lagi Jawa Timur. Kali itu ia nyantri di Pesantren Mojosari, Nganjuk. yang diasuh oleh seorang ulama yang termasyhur sebagai waliyullah, yaitu K.H. Zaenuddin.

Berbekal ilmu dari berbagai pesantren, tahun 1937 Kiai Umar mulai menggelar pengajian Al-Quran untuk keluarganya. Karena banyak yang tertarik perlahan pengajian itu melebar ke tetangga kiri kanan dan akhirnya kemana-mana.

Melihat aktivitas putranya, Abdul Manan kemudian mempersilahkan Umar untuk memanfaatkan tanah perkebunan kelapa seluas 3500 meter persegi yang sebelumnya telah dijariyahkan oleh K.H. Ahmad Shofawi, ulama konglomerat kota Solo yang merupakan sahabat Abdul Mannan saat nyantri dulu.

Di kebun itu lalu dibangun rumah dari bilik bambu dan sebuah mushalla sebagai tempat pengajian. Santri-santri angkatan pertama adalah keluarga, tetangga dan para buruh perusahaan batik milik K.H. Ahmad Shofawi. Dari pengajian di tengah kebun yang terletak di kampung Mangkuyudan itulah sejarah Pesantren Al-Muayyad bermula. Tak ada yang menduga bilik bambu itu kelak akan pesantren megah berlantai empat seperti saat ini.

Meski pengajiannya cukup diminati, bukan berarti perjalanan dakwah Kiai Umar berlangsung mulus. Kampung Mangkuyudan, sebelumnya dikenal sebagai kampung abangan. Bahkan sebagian warganya adalah pengikut partai komunis. Mereka itulah yang kerap menggangu pesantren yang baru berdiri itu.

Saat di bangun asrama putra, misalnya, tak jarang para sntri menemukan kotoran hewan dan manusia bertebaran di lantai pesantren. Saat mengetahui bahwa yang melakukannya adalah para tetangga komunis mereka, para santri pun menyusun rencana pembalasan. Namun entah mendengar dari mana, tiba-tiba mereka semua dipanggil sang guru dan dinasehati agar tidak membalas dendam.

“Bukankah kotoran itu adalah pupuk yang mujarrab? Mudah-mudahan pesantren ini akan berkembang pesat subur karena saat tumbuh banyak diberi pupuk kandang,” kata Mbah Umar lembut.

Banyak keteladanan yang ditinggalkan Kiai Umar untuk santr-santrinya. Dalam Manaqib Kiai Umar yang disusun oleh K.H. A. Baidhowi Syamsuri, pengasuh Pesantren Brabo yang juga santri dan menantu keponakan sang kiai, banyak dikisahkan keutamaan akhlak Kiai Umar.


Wali Autad
Mbah Umar sejak muda dikenal sangat rendah hati dan bersahaja. Terhadap orang kecil, semisal tukang becak, ia tak segan-segan menyapa terlebih dulu. Para tukang becak yang mangkal di sekitar pesantre juga mengaku senang melayani Kiai Umar, karena sang kiai selalu memberi uang lebih banyak dari ongkos yang seharusnya dibayar. Mereka terkesan karena setiap membayar ongkos Kiai Umar tidak pernah lupa menyatakan terimakasih dan mendoakan mereka agar laris dan tambah giat ibadahnya.

Demikian tingginya perhatian Kiai Umar terhadap fakir miskin. Ketika hari rayakurban, misalnya. Bila jatah daging kurban yang dibagikan telah habis padahal yang belum kebagian masih banyak, ia tak segan membeli sendiri daging kambing ke pasar dan membagikan kepada yang belum kebagian.

Meski sudah dikenal sebagai ulama besar, namun kiai Umar tidak segan-segan mendatangi para kiai sepuh untuk menanyakan hal-hal yang meragukan. Bahkan tak jarang ia menanyakan suatu hal kepada santri yang dianggap lebih memamahami persoalan tersebut.

Terhadap para santri yang nakal Kiai Umar juga mempunyai sikap yang istimewa. Pernah suatu ketika Mbah Umar minta pengurus mendaftar santri yang nakal. Tak pelak para pengurus yang sebelumnya sudah geram dengan tingkah polah santri-santri nakal itu bersorak gembira. Mereka membayangkan para santri akan segera dikeluarkan dari pesantren.

Namun ternyata yang terjadi berikutnya tak seperti yang mereka harapkan. Di depan pengurus pula Kiai Umar kemudian mendoakan santri-santri tersebut agar kelak menjadi ulama yang shalih. Secara tak langsung Kiai Umar juga ingin menasihati para pengurus, agar jika kelak menjadi kiai mereka pun harus bersikap bijak terhadap santri dan tak mudah menjatuhkan vonis yang memberatkan.

Karena keluhuran budi, ketekunan beribadah dan kedalaman ilmu itu pulalah banyak ulama sepuh dan ali thariqah yang meyakini Kiai Umar adalah salah satu waliyullah. Bahkan K.H. Ma’shum Lasem, dan K.H. Mubasyir Mundzir, Bandar Kidul, Kediri, dua ulama sepuh yang termasyhur sebagi kekasih Allah, pernah menyatakan bahwa Kiai Umar yang seumur hidupnya selalu menjaga wudhu dan shalat berjamaah itu adalah salah seorang anggota wali autad, yakni tingkatan yang setiap masa anggotanya hanya empat orang.

Ada juga ulama besar tokoh thariqah yang menyebut Kiai Umar sebagai salah seorang anggota wali abdal, tingkatan wali yang setiap masa anggotanya hanya tujuh orang. Ini diperkuat oleh cerita tentang karamah-karamah Kiai Umar yang pernah disaksikan oleh para santri, keluarga dan kiai-kiai lain.

K.H. Ahmad Umar wafat pada tanggal 11 Ramadhan 1400 H/24 Juni 1980 M, meninggalkan seorang istri, Nyai Hj. Shofiyyah Umar. Atas permintaan dua sahabatnya, Kiai Abdul Ghoni Ahmad Sajadi dan H. Wongso Bandi, jenazah sang allamah dimakamkan di belakang masjid Al Muayyad, di tengah kompleks pesantren yang didirikannya.

Dua bulan sebelumnya, kedua orang yang dekat dengan Kiai Umar itu sempat berbincang bahwa biasanya pesantren akan pudar sinarnya bila kiainya wafat tanpa meninggalkan anak. Untuk “mengatasi” hal itum berdasarkan petunjuk para kiai sepuh, hendaknya jasad Kiai Umar dimakamkan di kompleks pesantren. Diibaratkan, liang lahat sang kiai akan menjadi “bintang” yang tetap memancarkan cahayanya hingga tidak memudarkan pesantren yang ditinggalkannya.

Sepeninggal Kiai Umar, kepengasuhan Pesantren Al-Muayyad dipegang oleh keponakan tertuanya, K.H. Drs. Abdul Rozaq Shofawi. Sementara pengajian tahfizhul Qurannya digantikan oleh adiknya, K.H. Muhammad Nidhom Abdul Mannan. Dan seperti yang telah diramalkan semula, pesantren yang “ditunggui” jasad pendirinya itu tetap berdiri kokoh dan berkembang pesat hingga saat ini. (Kang iftah, pernah dimuat)

K.H.R. Moenauir, Krapyak

MUARA PENGAJARAN TAHFIZH AL-QURAN

Namanya disebut-sebut dalam mata rantai guru-guru Al-Quran terkemuka di tanah air. Ia juga menjadi salah satu muara keilmuan pesantren Al-Quran di Nusantara.

Matahari belum lagi sepenggalah. Sekelompok pemuda berkopiah hitam, baju koko dan kain sarung duduk bersimpuh di serambi sebuah rumah. Dengan tertib dan penuh ta’zhim pemuda beragam usia itu membentuk empat barisan memanjang. Di hadapan mereka duduk seorang ulama sepuh kharismatik yang mengenakan kain sarung, baju dan kopiah putih serta sorban yang dikerudungkan.

Satu persatu, puluhan pemuda tanggung itu membacakan ayat demi ayat Al-Quran, di luar kepala. Sepertinya tidak mudah. Terlihat dari begitu kerasnya para santri itu berusaha mengeja kata demi kata dalam kitab suci secara perlahan, benar dan fasih. Tidak jarang urat-urat leher mereka menonjol keluar, mengiringi keringat yang membanjiri tubuh. Ada juga ayat yang harus diulang berkali-kali karena menurut pandangan sang kiai belum sesuai menurut kaidah tajwid.

Begitulah pemandangan sehari-hari di pesantren Sunan Pandanaran, Sleman, Yogyakarta. Pengajian Al-Quran di pesantren yang diasuh K.H. Mufied Mas’oed itu memang sangat khas. Ia mewakili gambaran sebagian besar pesantren tradisional tahfizhul Quran, penghafalan Al-Quran, yang tersebar hampir di seluruh pulau Jawa, dan Madura.

Termasyhur dengan disiplin bacaan yang sangat ketat dan teliti, pola pengajaran di pesantren Sunan Pandanaran dan beberapa pesantren tahfizhul Quran besar lain di jawa bermuara kepada satu nama, K.H.M. Moenauwir, pendiri Pesantren Krapyak, Yogyakarta.

Di paruh pertama abad dua puluh, bisa dibilang Krapyak adalah tujuan utama santri-santri yang ingin menghafalkan Al-Quran. Dan di Krapyak, sosok kharismatik mbah Moenauwir lah yang merupakan inti magnetnya.

Kiai sepuh kelahiran Kauman Yogyakarta itu memang luar biasa. Tanda-tanda akan menjadi ahli Al-Quran sudah nampak sejak putra Kiai Abdullah Rosyad itu masih kecil. Ia telah mengkhatamkan Al-Quran sebelum usianya menginjak delapan tahun.

Moenauwir kecil, yang merupakan cucu Kiai Kasan Besari (senopati Pangeran Diponegoro untuk wilayah Kedu), juga pernah ditantang ayahandanya untuk mengkhatamkan pembacaan Al-Quran dalam waktu satu minggu. Waktu itu ia dijanjikan akan diberi hadiah Rp. 150,00 bila mampu. Ternyata Moenauwir berhasil memenuhi tantangan tersebut. Bahkan sejak itu ia selalu istiqamah mengkhatamkan Al-Quran seminggu sekali, meski tanpa hadiah.

Kehandalannya dalam membaca Al-Quran dengan fasih bahkan diakui gurunya, Kiai Kholil Bangkalan. Ketika usianya hampir menginjak 10 tahun, orang tuanya mengirim Moenauwir kecil untuk nyantri Pesantren Demangan, Bangkalan, Madura. Mengetahui kefasihan salah seorang santrinya dalam membaca kalam ilahi, Kiai Kholil memerintahkan Moenauwir untuk mengimami shalat jamaah. Sementara Kiai Kholil sendiri berdiri sebagai makmum di belakangnya.

Bermukim di Haramain
Selepas dari Bangkalan, Kiai Moenauwir mengaji ke beberapa ulama besar seperti Kiai Soleh Darat, Semarang, dan Kiai Abdurahman, Watucongol, Muntilan, Magelang. Usai mengaji di beberapa pesantren, tahun 1888 Moenauwir muda pun bermukim di Al-Haramain selama 21 tahun.

Enam belas tahun pertama dihabiskan Moenauwir di Makkah khusus untuk mempelajari dan mendalami Al-Quran beserta cabang keilmuannya. Beberapa gurunya yang mengajarkan tahfizh, tafsir dan qiraat sab’ah di Makkah antara lain Syaikh Abdullah Sanqoro, Syaikh Sarbini, Syaikh Mukri, Syaikh Ibrahim Huzaimi, Syaikh Manshur, Syaikh Abdus Syakur dan Syaikh Musthofa.

Karena kecemerlangannya dalam mengaji, guru qiraat sab’ahnya, Syaikh Yusuf Hajar, memberinya ijazah sanad qiraah yang bersambung hingga Rasulullah: sesuatu yang sangat jarang didapatkan murid-murid Syaikh Yusuf karena sangat sulit persyaratannya. Dalam silislah tersebut Kiai Moenauwir berada pada urutan ketiga puluh lima. Ada juga sanad lain yang diperolehnya dari Syaikh Abdul Karim bin Umar Al-Badri Ad-Dimyathi, yang sedikit lebih pendek.

Untuk memantapkan hafalan Al-qurannya, Kiai Moenauwir juga melakukan riyadhah berjenjang. Tiga tahun pertama ia mengkhatamkan Al-Quran setiap tujuh hari sekali. Tiga tahu kedua ia mengkhatamkan Al-Quran tiga hari sekali. Dan tiga hari ketiga Kiai Moenauwir mengkhatamkan Al-Quran setiap hari. Riyadhah tersebut ditutup dengan membaca Al-Quran tanpa henti selama 40 hari 40 malam. Riyadhah tersebut, menurut Kiai Nur Kertosono buku Sejarah Perkembangan Krapyak, membuat mulut Kiai Moenauwir sempat terluka dan mengeluarkan darah.

Usai tirakat, Kiai Moenauwir lalu melanjutkan pengajian ilmu-ilmu syariat lain, seperti fiqih dan tauhid, di Madinah selama lima tahun berikutnya. Setelah itu barulah ia pulang ke kampung halamannya di Kauman, Yogyakarta.

Di Kauman ia membuka sebuah pengajian kecil di langgarnya, menambah semarak pengajian-pengajian Al-Quran di lingkungan keraton tersebut. Tahun 1909, karena jumlah santrinya semakin banyak, Kiai Moenauwir memindahkan pesantrennya ke kampung Krapyak. Menurut beberapa sumber kepindahan tersebut juga dilakukan ayahanda Kiai Warson, penyusun kamus Al-Munawwir, itu untuk menghindari kewajiban seba kepada sultan.

Pesantren Krapyak diawali dengan sepuluh orang santri dan mencapai jumlah enam puluh orang pada sepuluh tahun pertama. Setelah tahun 1920 jumlah santri Krapyak berkembang dengan sangat pesat hingga mencapai ratusan orang.

Santri-santri Kiai Moenauwir generasi awal itulah yang kemudian mengembangkan pengajian tahfizhul Quran ke seluruh penjuru tanah air. Beberapa pesantren kemudian berkembang pesat. Sebut saja Pesantren Yanbu’ul Quran, Kudus (didirikan K.H. Arwani Amin), Pesantren Al-Muayyad, Mangkudan, Solo (didirikan K.H. Ahmad Umar), Pesantren Al-Asy’ariyah, Kalibeber, Wonosobo (K.H. Muntaha), Pesantren Kempek, Cirebon (K.H. Umar Sholeh), Pesantren Benda Bumiayu, Brebes (K.H. Suhaimi) dan lain-lain. Termasuk juga Kiai Moefid Mas’oed pendiri dan pengasuh pesantren Sunan Pandanaran, Sleman, yang tidak lain adalah menantu Kiai Moenauwir.

Dua Tahun
Mengaji gaya Krapyak memang tidak mudah. Selain haru memperhatikan benar panjang-pendeknya bacaan, pengucapan huruf (makharijul huruf) juga diawasi dengan sangat ketat. Tidak jarang untuk mampu membaca Surah Al-Fatihah dengan benar, seorang murid harus menghabiskan waktu berbulan-bulan. Bahkan pada masa Kiai Moenauwir, pernah ada santri yang menghabiskan waktu sampai dua tahun untuk membaca surah Al-Fatihah dengan baik dan benar.

Apalagi jika ingin mendapatkan ijazah silsilah sanad Al-Quran dari Kiai Moenauwir. Bukan hanya kemampuan membaca dan menjaga hafalan yang menjadi tolok ukur, tetapi juga perilaku selama nyantri di Krapyak. Ketatnya persyaratan memperoleh ijazah sanad belakangan juga diberlakukan kiai-kiai alumni Krapyak terhadap para santrinya.

Meski tidak semuanya mengantongi ijazah sanad, namun pesantren-pesantren alumni Krapyak tetap saja merupakan produsen terbesar huffazh di tanah air. Pesantren Sunan Pandanaran, misalnya, setiap tahunnya mewisuda tidak kurang dari tiga puluh orang santri huffazh. Demikian pula di Pesantren Al-Munawwir Krapyak, dan Al-Asy’ariyyah, Kalibeber, Wonosobo.

Karena bersumber dari satu almamater, program pengajian Al-Quran di pesantren-pesantren tahfizhul Quran di Jawa pun rata-rata sama. Diawali dengan tahfizh juz 30 atau juz ‘Amma, kemudian disusul program bin nazhar atau membaca 30 juz dengan tartil. Dua program tersebut wajib diikuti seluruh santri. Setelah khatam bin nazhar, barulah santri dapat mengikuti program bil ghaib atau tahfizh 30 juz.

Semua jenjang pengajian tersebut menggunakan metode pengajaran mushafahah atau sorogan, yakni satu persatu santri menghadap gurunya untuk menyetorkan bacaan atau hafalannya. Untuk program Juz ‘Amma, setoran saat mengaji biasanya per surah. Sedangkan untuk program bin nazhar batas setoran adalah per maqra’. Lain lagi dengan program bil ghaib 30 juz yang setoran mengajinya dihitung per halaman. Sebelum diijinkan meneruskan oleh sang guru, para santri akan terus mengulang-ulang bacaan atau hafalan sebelumnya.

Agar seragam, pesantren-pesantren tahfizhul Quran alumni Krapyak biasanya menggunakan Al-Quran yang sudah ditash-hih Kiai Arwani Amin, Kudus. Al-Quran tersebut lazim disebut “Al-Quran Ayat Pojok”, karena setiap halamannya ditutup dengan akhir ayat, sehingga tidak ada potongan ayat yang berada di halaman berikutnya. Ini untuk memudahkan santri dalam menentukan batas menghafal atau menyetorkan hafalan.

Melihat masih cukup besarnya jumlah para penghafal Al-Quran yang diwisuda setiap tahunnya, sepertinya umat Islam di tanah masih bisa bernafas lega. Setidaknya satu atau dua dasawarsa ke depan negeri ini masih akan terus berhias lantunan ayat-ayat suci Al-Quran yang tersimpan dengan baik di dalam dada para huffazh. Semoga ! (Kang Iftah)