Khazanah Kiai Nusantara

Media Pengabadian Pengabdian-pengabdian Tanpa Pamrih

Wednesday, November 08, 2006

Habib Anis bin Alwi Al-Habsyi

Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un


Wajah Penuh Senyum itu Telah Pergi


Rapat tahunan redaksi Alkisah di Puncak belum lama dimulai ketika ponsel Saiful Bahri berdering. Yang bersangkutan kemudian keluar dari forum dan kami pun melanjutkan rapat.

Tak lama Saiful Bahri masuk dengan tergopoh-gopoh seraya meyerahkan ponsel kapada Harun Musawa, Pemimpin Redaksi kami. Segera saja ucapan istirja' terucap dari pria paruh baya asal Pekalongan tersebut, sebelum kemudian membisikkan kabar bahwa Habib Anis bin Alwi Al-Habsyi Solo baru saja meninggal dunia.

Kami tersentak seraya mengulang istirja "Inna lillahi wa Inna ilaihi Raji'un". Suasana mendadak hening, seakan jarum jam berhenti berputar.

Seharusnya kami tak terlalu terkejut, karena sudah beberapa hari ini kami memantau perkembangan Habib Anis yang terbaring sakit di RS DR. Oen, Kandangsapi, Solo. Namun tak urung kabar meninggalnya ulama, yang sering dijuluki The Smiling Habib karena keramahan dan senyum tulus yang selalu menghias wajahnya, itu terasa bagai palu godam yang meluruhkan hati.

Betapa tidak. Di tengah jaman edan ini keberadaan Habib Anis yang berilmu tinggi, bijak, santun, dan lemah lembut terasa sekali laksana oase di padang gurun. Betapa tidak. Cucu Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, penggubah bait-bait maulid Simthud Durar, itu mendermakan hampir seluruh hidupnya untuk melayani umat Nabi Muhammad SAW.

Bukan sembarang pelayanan. Karena yang diberikan Habib Anis adalah pelayanan yang keluar dari sanubari yang tanpa pamrih. Siapa pun : kaya-miskin, tua-muda dan rakyat-pejabat, yang sowan kepada ulama yang wafat di usia 79 tahun itu selalu disambut dengan senyum khasnya.

Sorot matanya yang menyejukkan selalu berbinar ceria, meski kami tahu tubuh rentanya tengah menderita sakit paru-paru dan jantung yang terbilang kronis yang memaksanya sejak sepuluh tahunan lalu memakai alat pemacu jantung. Namun, sekali lagi, kelemahan fisiknya yang digerogoti usia lanjut dan penyakit kelas berat, tak pernah sedikitpun mencegahnya menjumpai para pecintanya (muhibbin) yang datang dari seluruh penjuru tanah air dan negeri jiran untuk mengaji, memohon petunjuk dan doa, atau sekedar bersilaturahmi seperti yang kerap dilakukan para petinggi negeri ini. Tak urung semuanya mendapat sambutan yang sama ramahnya, sama tulusnya dan sama indahnya. Sehingga semua tamunya merasa diayomi dan disayangi oleh habibnya tersebut.

Suatu ketika saya sowan secara khusus kepada Habib Anis, bukan untuk wawancara atau mengaji seperti yang sebelumnya sering saya lakukan. Kali ini kedatangan saya yang ditemani sahabat saya, Zainal Abidin, untuk meminta doa bagi istri saya yang tengah mengandung anak pertama kami. Seperti laiknya para muhibbin, saya pun membawa sebotol air mineral untuk didoakan.

Dengan senyum khasnya beliau manggut-manggut mendengarkan matur saya, yang juga meminta resep mendidik anak yang islami. Beliau, dengan senyum yang tak pernah terlepas dari bibirnya, lalu memberikan nasehat cukup panjang sebelum kemudian berdoa.

Karena tahu saya wartawan, sebelum berdoa beliau berpesan dengan nada guyon, "jangan difoto ya, nanti saya dikira dukun yang lagi ngobatin orang."

"Nggih," demikian jawab saya penuh ta'zhim.

Bersama saya, ikut sowan juga beberapa pemuda dan remaja tanggung yang datang dari pesisir utara Jawa Timur dan Jawa Tengah. Salah seorang diantaranya berkonsultasi tentang mimpinya, sementara yang lain minta ijazah pengamalan kitab Futuhat Ilahiyyah yang disusun kakeknya.

Salah seorang tamu remaja itu matur kepada Habib Anis dengan bahasa Jawa halus yang agak belepotan. Merasa bersalah dan tidak sopan, pemuda itu semakin terbata-bata dalam berucap. Namun yang membuat saya sangat terkesan, Habib Anis menjawabnya dengan Bahasa Jawa kromo yang sangat halus dan "asli Solo".

Sekilas saya lihat wajah pemuda sangat lega dan berseri-seri. Dalam hati saya berucap, "Ini baru cucu Rasulullah sejati. Benar-benar cucu Rasulullah."

Habib Anis kemudian juga mengijazahkan kitab Futuhat Ilahiyyah, bukan hanya kepada si peminta, tetapi untuk kami semua yang sowan.

Saya mengenal Habib Anis sejak dua belas tahunan lalu, ketika saya baru saja lulus dari Madrasah Aliyah Al-Muayyad, Mangkuyudan, Solo. Awalnya hanya sesekali saya sowan ke Gurawan, yakni mengantar beberapa teman saya yang sudah terbiasa mengikuti mauludan setiap malam Jumat. Saat itu saya hanya berani memandang Habib Anis dari kejauhan.

Beberapa tahun kemudian, saya bersama beberapa pengurus pondok diajak Ustadz Dimyathi , guru Bahasa Arab kami, untuk ikut mengaji sekaligus sowan. Pada dasarnya, saya termasuk santri yang rada cluthak. Setiap kali sowan kiai saya paling senang memandangi wajahnya yang sedang berbicara. Tak jarang, ketika ada ucapan kiai itu yang saya anggap sangat tidak sesuai dengan pikiran saya, langsung saya bantah, minimal saya pertanyakan dengan tajam.

Tapi entah mengapa, sejak pertama kali sowan Habib Anis, seperti tersihir saya selalu tertunduk dalam-dalam. Bukan karena beliau "sangar", tetapi justru karena wajahnya sangat teduh seperti telaga Sarangan di musim penghujan. Bahkan sampai saat menjadi wartawan, saya tetap tidak berani menatap wajah beliau dari dekat, meskipun saat wawancara. Selalu saja ada kekuatan tak terlihat yang memaksa saya menundukkan wajah.

Kini Habib Anis bin Alwi Al-Habsyi telah pergi. Sesak rasanya dada ini setiap kali membayangkan kunjungan saya ke Solo yang akan datang tak lagi bisa memandang wajah penuh senyum setulus kasih itu.

Selamat jalan Habib Anis, semoga Allah memperkenankan kami kembali berjumpa dengan Anda di Mahsyar.

Al-Baqqa lillahi wahdah

(Ahmad Iftah Shiddiq/Ft. Dok alKisah)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home