Khazanah Kiai Nusantara

Media Pengabadian Pengabdian-pengabdian Tanpa Pamrih

Monday, January 24, 2011

K.H. Abdurrahman Chudlori

BERPOLITIK UNTUK KEMASLAHATAN UMAT


(Prolog Penulis : "Hari ini (24/01/11) tersiar berita K.H. Abdurrahman Chudlori, Pengasuh Pesantren Tegalrejo Magelang, Jawa Tengah wafat. Kenanganku langsung melayang ke pertengahan Januari 2007, ketika aku mewawancarai beliau untuk majalah Alkisah edisi 03/2007. Berikut catatanku waktu itu.. Semoga memberi inspirasi.")


Berangkat dari dhawuh sang ayah, kiai yang satu ini pun berkiprah di politik. Bukan untuk mencari uang atau popularitas, tetapi untuk membantu mewujudkan kemaslahatan umat.


Cempaka Putih, pertengahan Desember 2006. Seorang pria paruh baya yang mengenakan baju batik coklat, kain sarung hijau dan kopiah hitam berdiri dan mengucapkan salam. Suara baritonnya meski terkesan datar namun membuat tiga ratusan kiai dan ustadz serta ustadzah yang menghadiri silaturahmi ulama dan habaib DKI Jakarta di aula Pondok Pesantren Hubbul Wathon, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, tersihir.


Setelah sambutan berjalan separuh jalan, semakin jelas bahwa kedalaman ilmu agama dan wawasan sang pembicara tak sesederhana wajah dan penampilannya. Mutiara hikmah yang dikutip secara luar kepala dari berbagai kitab-kitab termasyhur mengalir dengan lancar. Dari sikap ta’zhim dan cara memandang para audiens, tampak pula betapa sang pembicara sangat dihormati. Tentu saja, karena sang pembicara tidak lain adalah K.H. Abdurrahman Chudlori, pengasuh Pondok Pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah.


Kiai Abdurrahman Chudlori, yang akrab disapa Mbah Dur, merupakan salah satu ulama yang disepuhkan di kalangan Nahdliyyin. Bukan saja karena nama besar pesantren dan kiprah keulamaannya, namun juga karena kiprah politiknya yang konsisten memperjuangkan aspirasi warga nahdliyyin sejak Pemilu 1997. Ia juga termasuk salah satu kiai yang tergabung dalam Forum Langitan, suatu kelompok ulama sepuh NU yang muncul menjelang gonjang-ganjing gelombang reformasi 1998.


Dalam setiap perubahan situasi politik, Mbah Dur termasuk salah seorang kiai yang selalu ditunggu fatwa-fatwa politiknya oleh warga Nahdliyyin. Tak heran, belakangan ia lebih dikenal sebagai kiai politisi NU, meski yang bersangkutan menolak.


Ditemui Penulis di ruang kerjanya di Jl. Kramat V Jakarta Pusat, Mbah Dur bercerita tentang pengalamannya berkecimpung di dunia politik dan pandangan-pandangannya seputar kiai yang berpolitik.


Dengan dialek jawa yang kental dan ketawadhuan khas pesantren, Mbah Dur menolak anggapan bahwa seorang kiai tidak boleh berpolitik. “Para kiai memang tidak bisa lepas dari politik,” kata putra K.H. Chudlori, ulama kharismatik Magelang, itu membuka percakapan. Mbah Dur lalu mengutip salah satu maqalah dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, “As-Siyasah juz-un min ajza-isy syari’ah wa far’un min furu’iha, politik adalah bagian dan cabang syariat.”


“Apalagi bagi ulama Nahdliyyin yang sejak awal memang sudah berpolitik, baik saat tergabung dengan masyumi, saat berdiri sendiri sebagai partai, maupun saat berfusi dalam PPP pada masa orde baru,” tambahnya.


Air Dan Udara

Manusia sendiri, lanjut Mbah Dur, pada dasarnya tidak bisa lepas dari politik, “Ihtiyajul umam ilas siyasah kahtiyajihim ilal ma-i wal hawa,” kebutuhan umat Islam terhadap pengaturan, dalam hal ini politik atau pemerintahan, seperti kebutuhan mereka terhadap air dan udara. Maka sudah sewajarnya semua umat manusia, terlebih ulama, sebagai khalifah Allah di muka bumi merasa perlu ikut bertanggungjawab terhadap tuhannya atas pengaturan pemerintahan yang nota bene terkait dengan keteraturan hidup.


Lebih lanjut kiai yang diusianya yang ke-64 masih tampak energicmengungkapkan, ada tiga tanggung jawab yang diemban ulama NU. Pertama,mas’uliyyatud diniyyah, tanggung jawab keagamaan. Kedua, mas’uliyyatul ijtima’iyyah, tanggung jawab kemasyarakatan, dan ketiga, mas’uliyyatulwathaniyyah, tanggung jawab kebangsaan. Kiprah politik ulama tidak lain dalam rangka memenuhi tanggung jawab kebangsaan.


K.H. Abdurrahman Chudlori, adalah putra sulung K.H. Chudlori, ulama besar yang disegani pada era 1940 - 1977. Abdurahman lahir pada pertengahan tahun 1942 di komplek pesantren Asrama Perguruan Islam (API), Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, yang didirikan sang ayahanda.


Menyebut nama Tegalrejo, dalam benak kita pasti terlintas sebuah nama, Diponegoro. Di desa kecil yang sejuk inilah sang pejuang menjalani masa kecil dan remajanya dalam asuhan sang nenek yang taat beribadah. Di desa kecil itu pula Diponegoro dewasa menyusun rencana perjuangan mengusir penjajah untuk pertama kalinya. Maka bukan suatu kebetulan jika kakek buyut Kiai Abdurrahman Chudlori juga dikenal sebagai salah satu pejuang lasykar Diponegoro, yangmandeg pandhito, setelah sang pemimpin ditangkap penjajah Belanda.


Usai belajar di kampungnya, Dur lalu diperintahkan sang ayah untuk nyantri di pesantren Ploso, Mojo, Kediri, Jawa Timur. Selama enam tahun ia berguru kepada K.H. Djazuli Utsman, ahli fiqih Jawa Timur paruh pertama abad 20, dan juga kepada putra-putra Kiai Jazuli seperti Zainuddin (Gus Din), Nurul Huda (Gus Dah) dan Hamim Jazuli (Gus Miek), yang saat itu sudah ikut mengajar.


Dari para gurunya di Ploso itulah, terutama Gus Miek yang terkenal khariqul ‘adah,antik, itu Mbah Dur merasa banyak mendapatkan ilmu. Hingga kini hubungan murid dan guru itu masih sangat terjaga. Bagi bapak enam orang anak itu, sampai kapan pun para pengasuh pesantren Ploso adalah guru dan teladan yang sangat dihormati.


Sementara dari sang ayah, teladan yang paling ingin ditiru Mbah Dur adalah sikap Mbah Kiai Chudlori yang selalu idkhalus surur (membahagiakan) terhadap orang lain dengan selalu berbuat baik tanpa membeda-bedakan, tidak menyinggung perasaan, dan membicarakan hal-hal yang ringan dan mudah dipahami. Sikap inilah yang membuat setiap santri dan tamu yang berinteraksi dengan Mbah Chudlori selalu merasa dekat dan disayang.


Berkisah tentang awal pergumulannya dengan dunia politik, Mbah Dur mengaku semua bermula dari dhawuh sang ayah yang menyuruhnya ikut meramaikan kampanye PP menjelang Pemilu 1977. “Waktu itu, ayah saya yang sudah sangat sepuh memahami politik dengan sangat lugu dan sederhana,” Kiai Abdurrahman mengisahkan. “Karena PPP adalah partai Islam dan NU juga tergabung di dalamnya, maka menurut ayah saya, membela PPP hukumnya wajib.”


Saking semangatnya, sang ayah yang sedang tergolek sakit itu berkata, “Kowe melua berjuang menangke partaine wong Islam, kamu harus ikut berjuang memenangkan partainya umat Islam.” Belakangan Mbah Dur baru tahu, ternyata motivasi sang ayah menyuruhnya ikut kampanye tidak lain untuk menggugurkan kewajiban. “Aku wae yen ora loro mesti melu, kok, Aku saja kalau tidak sedang sakit pasti ikut kampanye.”


Ikut-ikutan

Bagi Mbah Dur, pesan sang ayah untuk terjun ke dunia politik seakan menjadi wasiat terakhirnya. Karena, tepat satu minggu setelah penyelenggaraan pemilu 1977, ulama sepuh yang sangat di hormati di antero Jawa Tengah dan Jawa Timur itu wafat.


Sejak tahun 1977 itulah kiprah politik Mbah Dur, yang diistilahkannya dengan perjuangan dimulai. “Bukan sesuatu yang besar, wong waktu itu saya cuma ikut-ikutan ngajak orang noblos PPP.”


Perjuangan memang menjadi kata kunci garis hidup K.H. Abdurrahman Chudlori. Terlebih perjuangan mewujudkan kemaslahatan umat, sebagai bagian dari tanggung jawab keulamaannya. “Bagi saya perjuangan mewujudkan kemaslahatan umat itu tidak mengenal kata selesai kecuali ajal menjemput nyawa. Dan perjuangan itu bisa dengan apa saja : yang punya ilmu dengan mengamalkan serta mengajarkan ilmunya. Demikian juga bagi yang punya kekuatan, harta dan sebagainya. Berjuang dengan ilmu juga bisa dilakukan dengan selalu berusaha memperbaiki keadaan, terutama keadaan umat Islam dan memberi pengertian baik kepada orang lain,” lanjut Kiai Abdurrahman.


Meski aktif berpolitik, Mbah Dur, yang sejak 1977 menggantikan sang ayah mengasuh Pesantren Tegalrejo selalu menegaskan, seluruh aktivitas politiknya adalah sikap pribadi, bukan kebijakan kelembagaan pesantren Tegalrejo. “Pesantren Tegalrejo sudah dipathok orang tua saya untuk tidak digunakan sebagai tempat aktifitas politik,” Mbah menegaskan.


Ketika ditanyakan, apakah aktivitas politik tidak akan mengganggu tugasnya sebagai pengasuh pesantren? Mbah Dur yakin tidak. Karena, menurutnya, peran para kiai yang tergabung dalam Dewan Syura dan Dewan Mustasyar hanya pengambil kebijakan, bukan sebagai pelaksana. Mbah Dur juga yakin umat Islam sekarang sudah dewasa untuk bisa memilah dan memahami, kapan seorang kiai berfungsi sebagai guru dan ulama yang patut disowani dan dimintai fatwa, dan kapan waktunya ia menempati posisi sebagai warga negara yang mempunyai hak untuk menyalurkan aspirasi politik.


Ketika penulis menanyakan, dari mana kiai pesantren tradisional ini belajar politik? Dengan rendah hati Mbah Dur mengaku, ia belajar sedikit demi sedikit melalui interaksi dengan para politisi yang ditemuinya. Ia juga tidak menyangkal telah memperkaya pengalamannya dengan membaca kitab-kitab fiqih siyasah, fiqih politik, yang cukup banyak bertebaran dalam jagad khazanah pesantren.


Mbah Dur menolak anggapan bahwa kitab-kitab fiqih siyasah pesantren telah ketinggalan zaman. Baginya semua kitab ilmu cocok dipakai di segala zaman dan mengajarkan banyak hal. Misalnya, dari kitab kuninglah Mbah Dur tahu bahwa yang namanya politik itu pasti berkait dengan kepentingan. “Namun yang membedakan dengan para politisi lain, para kiai sepuh NU berpolitik untuk kepentingan akhirat. Bukan untuk mencari uang atau kedudukan dunia,” tegas Mbah Dur berbinar.


Komitmen yang sejak awal dipegang Mbah Dur itu dibuktikan dengan menolak pencalonannya menjadi anggota MPR, meski Magelang merupakan lumbung suara yang cukup menjanjikan. Ini terbukti kandidat lain, K.H. Dimyathi Rois dari Kaliwungu, yang menggantikannya dengan mulus melenggang ke Senayan. Demikian pula pada era PKB, dari DPC Magelang ia mendapat jatah kursi calon anggota DPR RI mewakili Jawa Tengah. Lagi-lagi kesempatan itu diberikan kepada koleganya, K.H. Kholil Bisri, yang juga akhirnya terpilih.


“Insya Allah, tidak ada satupun kiai-kiai sepuh NU yang berpolitik dengan tujuan menjadi anggota dewan,” Mbah Dur sekali lagi berkomitmen. “Kalau pun ada yang kemudian bersedia menjadi anggota dewan yang dilihat bukan uangnya, tetapi adanya kesempatan ikut membuat kebijakan atau undang-undang yang membawa kemaslahatan.”


Terkait penolakan itu Mbah Dur berkelakar, “Saya itu tidak pengin jadi anggota DPR. Saya pengine nggawe anggota DPR.”


Kecewa Berat

Sebagaimana beberapa kiai lain, aktivitas politik Mbah Abdurrahman Chudlori sempat terhenti ketika NU memutuskan untuk khiththah, kembali ke garis perjuangan awal sebagai ormas keagamaan yang hanya mengurus masalah sosial keagamaan. “Waktu itu NU kecewa berat karena di PPP kepentingan politik warganya tidak tersalur dengan layak,” Mbah Dur mengisahkan ihwal kembalinya ia ke kancah politik.


Namun setelah tidak berpolitik pun ulama NU tidak bisa tenang karena jamaahnya ditarik-tarik kesana kemari, seperti orang yang diminta mendorong mobil. Setelah mobilnya jalan orangnya ditinggal. Karena itulah, begitu keran reformasi dibuka ulama NU mufakat untuk membentuk wadah aspirasi politik warga NU yang dikenal dengan nama Partai Kebangkitan Bangsa.


Namun sayang, seiring berjalannya waktu, partai politik warga NU mulai ngalor ngidul nggak jelas. Upaya para kiai pendiri PKB untuk membenahi agar kembali berjalan di atas niatan awal tenyata kandas. “Ya sudah kita bikin wadah baru saja dari pada ribut-ribut terus,” kata Mbah Dur enteng.


Setelah perencanaan pembentukan partai baru matang, beberapa kiai sepuh seperti K.H. Idham Khalid dan K.H. Abdullah Faqih melakukan istikharah. Hasilnya positif. Kiai Abdullah Faqih, misalnya, selama tujuh malam mendapat isyarat mimpi yang baik-baik, seperti membaca surah Al-Fatihah, melihat awan putih bertuliskaninna shalati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil ‘alamin dan lain sebagainya.


Tak ingin kehilangan kendali untuk kedua kalinya, para ulama sepuh menyempurnakan AD/ART partai barunya. Kali ini Dewan Mustasyar yang berisi para ulama sepuh lebih diaktifkan dan mempunyai hak veto. Hak veto ini diharapkan bisa mengendalikan sepak terjang para pelaksana harian yang tergabung dalam dewan tanfidz dan dewan syura.


Bagaimana dengan kiai-kiai NU yang masih berserakan di partai-partai lain? Dengan enteng Mbah menjawab, “Ya biar saja. NU khan sudah khiththah, jadi tidak ada kewajiban semua kiai NU berada di satu tempat. Tugas kami cuma ayo-ayo: ayo ini partainya para kiai.. ayo dukunglah. Sudah. ”


Bagi ayah dua putra empat putri ini, yang paling penting dalam perjuangan adalah menata niat dengan benar dan berangkat. “Ya pokoknya berangkat, mengenai hasilnya terserah Allah. Menang Alhamdulillah, kalah yo mati syahid, hehehe.”


Entah karena sikapnya yang cenderung selalu tenang, atau karena pengalaman politiknya, akhirnya Mbah Dur terpilih menjadi Ketua Dewan Syura partai barunya, PKNU.


“Saya ini tidak mau, tetapi para kiai sepuh terus mendesak saya,” kata Mbah Dur sambil menghela nafas. “Saya itu sebenarnya tidak mampu memegang tampuk kepemimpinan organisasi, apalagi tingkat nasional. Saya ini khan cuma kiai kecil dari kampung. Tapi ya sudah, bolak- balik semua itu saya niati ndere’ke dhawuhpara kiai, ittiba’ ulama. Di forum langitan itu khan ada kiai-kiai sepuh yang sangat saya hormati, seperti Kiai Abdullah Faqih, kiai-kiai pesantren Ploso dan juga Kiai Idris Marzuki, Lirboyo, yang walaupun umurnya sebaya, tapi sangat saya ta’zhimi, karena beliau keturunan orang gedhe.”


Tidak Tega

Waktu muktamar Surabaya, sebenarnya ia sudah menyatakan ingin istirahat. Namun para kiai-kiai sepuh bilang, “Sampeyan bertahan dulu, maksimal sampai hasil kasasi keluar.” Ia pun menegaskan,“Estu, betul, kiai?”

“Iyo, tenan,” kata para kiai.


Namun ketika hasil kasasi MA keluar dan gugatan pihaknya kalah, ia nggak tega meninggalkan perjuangan teman-temannya yang ingin ikut merubah tatanan kenegaraan melalui parlemen dan pemerintahan, agar kemaslahatan umat dijadikan sebagai tujuan bersama. “Yah pokoknya kita berangkat menuju medan perjuangan dengan niatan lillahi ta’ala. Dalam perjuangan itu khan yang penting berangkat, seperti halnya berperang, yang penting ya berangkat dulu dengan niat yang benar. Soal hasilnya kita serahkan kepada gusti Allah. Kalo mati ya mati syahid, kalau menang yang itu memang yang diharapkan,” kata Mbah Dur pelan.


Ketika ditanya bagaimana konsep kenegaraan yang akan diperjuangkan para kiai sehingga merasa perlu ngotot mendirikan partai, kiai yang mengaku resep awet mudanya adalah makan dan tidur secara teratur ini mengatakan, “Berpedoman pada pendapat para hukama’, ahli hukum dan hikmah, suatu negara akan tegak jika mempunyai enam pondasi: yaitu dinun muttaba’, agama yang dilaksanakan secara konsekwen; sulthanun qahirun, pemerintahan yang berwibawa; ‘adlun syamil, keadilan yang menyeluruh; amnun ‘am, keamanan yang merata; amalun fasih, aspirasi yang sehat.”


Atau kalau diruntut lebih ke belakang lagi, lanjut Mbah Dur, Rasulullah juga telah mengajarkan, untuk menegakkan suatu negara diperlukan empat hal: pengajaran para ulama, keadilan para Umara, baik legislatif, eksekutif dan yudikatif, kedermawanan orang-orang kaya dan doanya kaum fakir miskin. (Kang Iftah, Februari 2007)

1 Comments:

Blogger Ibnu faqih said...

silsilahnya ada g sampai kakak,keponakan2 beliau

1:41 PM  

Post a Comment

<< Home