Khazanah Kiai Nusantara

Media Pengabadian Pengabdian-pengabdian Tanpa Pamrih

Wednesday, January 06, 2010

Nyai Hj. Shofiyah Umar


SETAHUN SETELAH MBAH TI PERGI..

Sebelum Januari 2009, mengunjungi almamater tercinta terasa belum lengkap kalau belum mencium punggung tangannya yang berkeriput lembut. Sosoknya yg teduh terasa lebih rindang dari pada pohon sukun yang telah puluhan tahun berdiri patah tumbuh di depan Masjid Al-Muayyad. Senyum dari bibirnya yang tak henti melantunkan shalawat sering kali lebih cepat mendinginkan hati ketimbang kucuran air kran wudhu di utara masjid. Mbah Ti, begitu biasanya kami menyapa perempuan sepuh yang selalu membangkitkan kerinduan tuk menjumpainya lagi, lagi dan lagi itu.

Sayang, sejak setahun lalu, tak mudah lagi bagi kita untuk melihat senyumnya yang menentramkan gundah, merasakan belaian kasihnya di kepala kita, dan mendengarkan cerita-cerita perjumpaannya dengan Rasulullah dan para kekasih Allah lewat mimpi dalam tidurnya. Sungguh, cerita-cerita yang disampaikannya dengan penuh binar kegembiraan itu terasa sangat hidup. Hingga kadang aku setengah yakin bahwa alam bawah sadar Mbah Ti memang telah ditakdirkan Allah menjadi "stasiun" persinggahan bagi para kekasih-Nya yang tengah berlalu lalang. Atau, jangan-jangan beliau memang salah satu di antara mereka. Entahlah, karena sejak setahun lalu tak mudah lagi kita melihat senyumnya.

Sosok Mbah Ti, nama panggilan kesayangan almarhumah Mbah Nyai Hj. Shofiyah Umar, sesepuh Pondok Pesantren Al-Muayyad yang wafat di awal tahun 2009 lalu, memang selalu membangkitkan kenangan dan kerinduan bagi siapa pun yang pernah berinteraksi dengannya. Telaga jernih selalu menggenang di kelopak matanya, yang hingga akhir hayat masih terus digunakan untuk mendaras kitab suci, setiap kali menceritakan kerinduannya kepada K.H. Ahmad Umar Abdul Mannan, suaminya. Suaranya selalu tercekat setiap kali mengisahkan doa dan harapannya untuk para santri yang diasuhnya. Sayang, sejak setahun lalu kita tak mudah lagi mendengar nasihatnya.

Cintanya kepada santri sangat tulus, mengalir dari bening hatinya. Doa-doanya terus mengetuk pintu langit, memohon limpahan ilmu bagi anak-anak yang dititipkan ribuan orang tua kepadanya, siang dan malam, mengalahkan kerentaan usianya. Isakan tangis pengiring dzikir seringkali terdengar dari balik jendela kamarnya yang bersahaja, memecahkan hijab-hijab penghalang naiknya permohonan ilmu bermanfaat yang disenandungkan santri setiap kali akan memulai pelajarannya...

Rabbi zidni 'ilman nafi'a
war-zuqni fahman shahiha
wa qalban salima..

Sayang, sejak setahun lalu, tak mudah lagi kita mendengar lantunan doanya.

Mbah Ti, berulang kali kulihat beliau menghadiahi tamu-tamunya dengan seperangkat mukena, sarung, kain batik dan benda-benda lain yang menjadi dagangan penyambung ma'isyah-nya. Mbah Ti beberapa kali kusaksikan membekali sejumlah uang kepada santri-santri yang sowan berpamitan di kamarnya sebelum pulang. Mbah Ti disayangi para pedagang sayur, pedagang beras, pedagang kain, pedagang perhiasan dan pedagang-pedagang lain yang kerap menghadap untuk memohon restunya. Mbah Ti juga dihormati para ulama sepuh yg hidup di penghujung abad dua puluh dan awal abad dua puluh satu. Bahkan Habib Luthfi, petinggi kaum sufi di Indonesia saat ini, pernah "membocorkan" maqam kewaliannya. Sayang, sejak setahun lalu tak mudah lagi kita menjumpainya.

Mbah Ti sepanjang yang kukenal, hingga penghujung usianya berlimpah kebajikan, begitu lembut, begitu baik dan begitu meneduhkan, sampai aku tak peduli pada kesan lain tentangnya. Dukanya mudah terusik kala mendengar cerita duka santrinya, pun cerianya segera bangkit setiap kali mendengar kabar sukses murid-muridnya. Bahkan tak jarang digelarnya tasyakuran atas kebahagiaan mereka. Sungguh aku pernah mendapatkannya. Sayang, setahun sudah kita tak lagi mudah menjumpainya.

Mbah Ti, meski sering tak kita sadari, selalu setia mengawasi tingkah polah santri-santrinya dari balik kaca jendela yang melindungi tubuh rapuhnya dari kerasnya hembusan angin. Selalu tersenyum melihat derap langkah kita berangkat dan pulang sekolah. Kadang, ketika kesehatannya membaik, Mbah Ti menemani para abdinya di dapur, yang tengah menyajikan makanan untuk para santri, sambil terus memberikan restu pada puluhan santriwati yang antre ingin menjabat dan mencium punggung telapak tangannya yang sudah berkeriput lembut. Sungguh episode terindah nyantri yang sejak setahun lalu tak akan pernah kita lihat lagi.

Kini, tak ada lagi pengobat rindu itu. Tak ada lagi yang bisa mendinginkan hati ini secepat tetesan embun di pagi hari. Tak ada lagi yang biasa kujadikan tempat memuarakan keluh kesah dan permohonan restu. Tak ada lagi yang meneguhkan pijakan kaki saat limbung di terpa lindu batin. Tak ada lagi yang menambatkan kerinduan ini untuk sering duduk di bawah pohon sukun, tak jauh dari kamarnya, lagi, lagi dan lagi.. sambil berharap ada yang tiba-tiba membelai lembut kepalaku sambil menyapa, "le..".

Muharram 1431 H ini, genap setahun sudah Mbah Ti meninggalkan kita semua, meninggalkan pesantren yang dicintainya, meninggalkan santri-santri yang sangat disayanginya, meninggalkan nama yang terukir indah di dada pecintanya. Secara zhahir, memang sangat tak mudah lagi kita menjumpainya, tapi pasti tidak secara batin. Cintanya yang tulus kepada kita semua pasti akan tetap abadi bersemayam di dada kita, selama kesetiaan kita untuk mencintainya masih terus menyala. Selama kesetiaan tuk mencintai pesantren yang ditinggalkannya masih terus hidup di hati kita. Selama kita masih setia merasa sebagai santrinya... santri suaminya.. dan santri mertua serta guru-gurunya. Semoga.

Aku akan selalu merindukanmu, Mbah Ti... Sungguh